Rabu, 02 November 2011

KEPEMIMPINAN : Paradigma Barat dan Islam

PENDAHULUAN
 
            Studi tentang kepemimpinan sudah lama dilakukan oleh para ahli ilmu kepemimpinan. Bahkan sejak zaman klasik, misalnya di zaman Plato, studi tentang makna kepemimpinan sudah menjadi hal yang sangat menarik (Spotts (1964). Di sekitar tahun 1500 pun, Macchiavelli sudah memulai studi tentang makna kepemimpinan ini. Studi tentang kepemimpian sudah dilakukan dengan pendekatan quantitative dan juga qualitative (Northouse 1997). Melihat begitu pentingnya kajian tentang makna kepemimpinan, maka secara terus menerus, para ahli mengkaji makna kepemimpinan ini melalui berbagai pendekatan sehingga kajian ini menjadi sebuah kajian yang tidak pernah berhenti.
 Teori yang pertama sekali dikembangkan di dalam mempelajari makna kepemimpinan dilakukan dengan pendekatan Trait Theory atau teori sifat (pembawaan). Para ahli ilmu kepemimpinan di Amerika Serikat menganggap seseorang sebagai pemimpin dari kacamata sifat orang tersebut (Bass, 1981). Kalau seseorang itu mempunyai kemampuan yang melebihi kemampuan anggota organisasi tertentu, maka orang tersebut akan dianggap sebagai pemimpin. Menurut teori sifat ini, seseorang akan menjadi pemimpin apabila orang tersebut memiliki kegagahan fisik, kepintaran, kemampuan dalam berbicara, ketinggian status social, dan kelebihan lainnya yang melebihi anggota sebuah organisasi atau masyarakat. Menurut Bass (1981), Yukl (1989), dan Douglas (1996), trait theory ini muncul dan berkembang dalam periode tahun 1904-1947. Di awal abad ke 19, teori ini sangat populer dan dianggap sebuah teori yang mampu menjelaskan makna kepemimpinan.
            Namun seiring dengan berjalannya waktu dan kajian yang dilakukan setelah tahun 1945 sampai 1950, para ahli menemukan bahwa trait theory ini memiliki kelemahan-kelemahan sehingga tidak mampu menjelaskan makna kepemimpinan secara memuaskan. Hal ini dikarenakan, dalam kehidupan, banyak ditemukan pemimpin-pemimpin yang memiliki sifat-sifat dasar (trait) berbeda-beda namun mampu memimpin dengan berhasil. Pada sisi yang lain, ada pemimpin-pemimpin yang memiliki sifat yang sama (similar trait) tapi sebahagian pemimpin berhasil sedangkan sebahagian lainnya gagal di dalam kepemimpinannya. Ditemukan pula bahwa kemampuan seseorang di dalam memimpin bukan karena kehebatan sifatnya (trait) saja tapi karena keahliannya tersebut diakui oleh anggota organisasi lainnya (Knickerbocker, 1948). Kenyataan ini membuktikan bahwa trait theory mempunyai kelemahan-kelemahan sehingga ahli ilmu kepemimpinan mencari alternatif lain. Salah satu teori alternatif  adalah Style Theory (Bryman, 1986).
            Style Theory atau teori gaya kepemimpinan ini, memiliki karakter yang berbeda dengan teori sebelumnya. Style theory ini lebih mengkaji kepada pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dari pada sifat seseorang tersebut. Douglas (1996) menyebutkan bahwa since the development of style theory, researchers investigates how leaders behave or the jobs of leaders rather than who leaders are. Douglas dengan tegas mengatakan bahwa style theory ini memandang seseorang sebagai pemimpin dari sudut pandang kualitas pekerjaan yang dilakoni oleh seseorang.
            Walaupun teori style ini berkembang dengan pesat, teori ini belum juga mampu menjelaskan makna kepemimpinan secara menyuluruh. Bahkan 2 universitas besar di Amerika Serikat yaitu Ohio State University dan the University of Michigan sudah mengembangkan penelitian tentang style theory ini. Kedua penelitian tersebut menemukan bahwa setidaknya ada 2 bentuk style atau tingkah laku pemimpin, yaitu: consideration (lebih peduli kepada para pekerja), dan initiate structure (lebih mementingkan produktifitas). Namun, masih ditemukan kelemahan-kelemahan mendasar dari teori ini. Tidak ada satupun peneliti mampu membuktikan ada hubungan antara gaya kepemimpinan dengan keberhasilan. Kelemahan yang lain adalah para peneliti belum menemukan style (gaya) yang bisa diterima secara universal (tidak adanya universalitas gaya kepemimpinan yang dianggap effektif). Oleh karena itu, dengan sendirinya style theory ini juga tertolak.
            Dengan tertolaknya style theory ini, maka muncullah situational theory atau teori situasi. Teori yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard ini menilai bahwa seorang pemimpin itu akan berhasil apabila, sifat dan gaya kepemimpinannya itu sesuai dengan situasi yang sedang terjadi. Teori ini sangatlah populer dan banyak diadopsi di dalam pelatihan-pelatihan kepemimpinan. Ide sentral dari teori ini adalah “the basic premise of the theory is that different situations demand different kinds of leadership” (Northouse, 1997, hal. 53). Menurut Northouse ini, situational theory ini menilai bahwa seseorang itu baru dianggap pemimpin yang efektif apabila sifat dan gaya kepemimpinannya itu sesuai dengan situasi yang sedang berlangsung. Menurut teori ini, kepemimpinan itu berhubungan erat dengan situasi; seseorang tidak mampu memimpin tanpa memiliki kemampuan mengontrol dan menganalisa situasi dimana orang tersebut memimpin. Walaupun teori ini berkembang pesat, banyak ktitik yang ditujukan kepada teori tersebut. Situational theory ini tidak didukung oleh penelitian yang mencukupi sehingga keabsahan dalam hal keilmuan masih diragukan. Bahkan penelitian yang sudah adapun masih diliputi oleh banyak kekurangan dan kelemahan dari segi metodenya.
            Di samping kontroversi dibidang teori di dalam mejelaskan arti kepemimpinan, makna kepemimpinan ini menjadi lebih kontroversi dan sulit dijelaskan dengan munculnya istilah-istilah yang bermakna ganda. Misalnya, masyarakat masih bingung dengan istilah kepemimpinan-manajemen, kepemimpinan-kekuasaaan, dan juga istilah kepemimpinan-posisi atau jabatan. Munculnya istilah yang kontroversi ini membuat semakin kaburnya makna kepemimpinan itu sendiri. Pertanyaan tentang karkteristik pemimpin yang efektif juga menjadi pengkajian ilmu kepemimpinan. Kontroversi yang baru muncul tentang siapakah pemimpin efektif itu? apa saja sifat-sifat dari pemimpin efektif? dan siapakah yang lebih efektif dalam memimpin, perempuan atau laki-laki? Apakah arti kepemimpinan sama di satu budaya dengan budaya yang lain? Pertanyaan-pertanyaan tersebut memaksa ahli dalam bidang ilmu kepemimpinan ini berkutat di dalam mencari cara yang efektif untuk mendefinisikan makna kepemimpinan.
            Buku ini terdiri dari dua bagian, yang pertama akan mencoba menelaah makna kepemimpinan yang masih menjadi kontroversi ini. Kajian kepemimpinan di dalam buku ini akan dikaitkan dengan kepimpinan di dalam pendidikan (Educational Leadership). Selanjutnya kajian tentang kepemimpinan yang cocok untuk karakter lembaga pendidikan di Indonesia akan dijabarkan, sehingga buku ini menjadi pegangan tidak hanya bagi para pemimpin, tetapi juga bagi para mahasiswa dan professional yang tertarik dengan kondisi pendidikan di Indonesia sekarang ini.
            Bab selanjutya dari buku ini akan menjelaskan beberapa istilah yang berhubungan dengan kepemimpinan. Pertama sekali akan dijelaskan makna kepemimpinan sesuai dengan definisi-definisi yang sudah ada. Makna kepemimpinan tersebut akan diulas dan dikaitkan dengan manajemen, kekuasaan, dan jabatan. Diharapkan dengan ulasan di bab 2 ini akan memberi kejelasan tentang istilah-istilah yang bermakna ganda. Bab 3 memberi informasi tentang trait, style dan situational theories. Bab ini mencoba melihat dan mengkaji kembali teori kepemimpinan yang sudah dikembangkan sebelumnya. Di dalam bab 4 akan ditemui penjelasan singkat tentang penelitian tentang kepemimpinan yang sudah dilakukan oleh Ohio State University dan the University of Michigan. Bab 5 menjelasakan tentang tipe-tipe kepemimpinan seperti transactional, transformational, charisma, pseudo transformational dan collegiate leadership. Diharapkan bab ini akan mampu menjelaskan secara singkat dan padat tentang tipe-tipe kepemimpinan yang sudah diteliti dan dikembangkan selama ini. Di dalam bab 6, pembaca akan disuguhkan dengan ulasan tentang kepemimpinan yang cocok untuk lembaga pendidikan di Indonesia dan apa-apa saja tanggung jawab mereka, sehingga mutu pendidikan di Indonesia bisa dikembangkan ke arah yang lebih baik.
            Bahagian kedua dari buku ini akan menelaah hakikat kepemimpinan dalam perspektif Islam. Islam sebagai agama universal sudah merumuskan makna dan hakikat kepemimpinan. Oleh karena itu, di dalam pembahasan bab-bab selanjutnya di dalam bahagian kedua ini, pembaca akan disajikan dengan firman Allah dan juga sabda Rasulullah yang berhubungan dengan hakikat kepemimpinan. Bab 7 menelaah hakikat kepemimpinan melalui Firman Allah. Dalam bab selanjutnya, Bab 8 akan mengulas hakikat kepemimpinan dalam kaca mata sunnah Nabi. Bab terakhir, bab 9 mengkaji kepemimpinan yang dalam proses pendidikan yang berbasiskan sirah nabawiyah.

DEFINISI KEPEMIMPINAN
A. Definisi Kepemimpian 
            Walaupun studi tentang kepemimpinan sudah berlangsung cukup lama sejak zaman klasik, Bass (1981) berpendapat bahwa kata kepemimpinan (leadership) pertama kali muncul pada pertengahan abad ke 19 di dalam lapangan politik. Namun sejak kemunculannya secara formal tersebut, makna kepemimpinan itu sendiri masih kontroversi. Orang memang sering mengunakan kata kepemimpinan ini tapi maknanya yang jelas masih belum terungkap (Burn, 1978, Hosking, 1988, dan Nicholls, 2002). Walaupun demikian, para ahli ilmu kepemimpinan terus mengkaji dan berusaha untuk mendefinisikan kepemimpinan. Oleh karena itu, sudah banyak terlihat definisi yang sudah dirumuskan oleh para ahli di dalam buku-buku kepemimpinan dan administrasi. Sebahagian ahli mengatakan bahwa kepemimpinan itu adalah kemampuan untuk memberi inspirasi kepada orang lain, ahli yang lain mengatakan kepemimpinan itu adalah sebuah proses yang terjadi di dalam sebuah organisasi, yang lainnya melihat dari segi sifat dan tingkah laku para pemimpin. Perbedaan ini terjadi karena kata kepemimpinan (leadership) ini sama seperti kata-kata cinta (love) dan demokrasi (democracy). Meskipun secara intuisi banyak yang tahu makna dari istilah tersebut, makna sebenarnya masih sangat sulit dirumuskan (Bass, 1981; Northouse, 1997; Barker 2000; dan Nicholls, 2002).
            Memahami makna kepemimpinan tidaklah semudah mendefinisikan istilah leadership atau kepemimpinan. Pemahaman terhadap istilah kepemimpinan sangatlah komplek. Seringkali kepemimpinan (leadership) dimaknai sebagai ketua (headship). Sering juga manajemen, kekuasaan, status, dan otoritas disamakan artinya dengan kepemimpinan (Fairholm, 1991). Padahal kepemimpinan itu sebenarnya tidak terikat dengan posisi. Artinya, orang yang tidak memiliki posisi didalam keorganisasian masih bisa menjadi pemimpin. Fairholm (1991) berpendapat bahwa “holding a position of high status does not make one a leader” (hal. 27). Sudah jelas bahwa sebuah status atau jabatan tidak menjamin seseorang menjadi pemimpin. Yang menjadikan seseorang itu pemimpin adalah kemampuannya di dalam mempengaruhi orang lain untuk melakukan tugas keorganisasian dengan suka rela. Esensi kepemimpinan bukanlah pada berapa tinggi status seseorang itu, tapi pada berapa besarnya keinginan orang lain untuk mengikuti perintahnya secara suka rela. Seseorang menjadi pemimpin apabila orang tersebut mendapat kepercayaan dari orang lain (Carter, 1953; Mindl, 1955). Gibb (1969, hal. 12) menegaskan hal senada bahwa “leadership is given by perception of group members that an act of one of their member contributes positively to group progress and the attainment of distributed satisfaction”.
            Kepemimpinan adalah sebuah proses mempengaruhi orang lain untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi secara suka rela (Fairholm, 1991; Gardner, 2000). Bahkan menurut Gemmil dan Oakley (1992) kepemimpinan adalah sebuah proses kerjasama antara anggota organisasi dalam merumuskan metode baru untuk meningkatkan kualitas organisasi. Fulan (2000, hal. 3) mengatakan bahwa “leadership is a process of persuasion or example by which an individual (or leadership team) induce the group to pursue objectives shared by the leaders and his or her followers”. Fulan berpendapat bahwa kepemimpinan adalah suatu proses untuk mempengaruhi anggota organisasi lainnya untuk mencapai tujuan yang sudah dirumuskan oleh pemimpin dan anggota organisasi lainnya. Ini artinya bahwa kepemimpinan bukan hanya didefinisikan dari sudut jabatan, tapi lebih tepatnya, kepemimpinan ini adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa paksaan untuk mencapai sesuatu yang sudah dirumuskan sebelumnya oleh anggota organisasi.
            Terjadi perbedaan pendapat tentang apakah kemampuan memimpin itu adalah potensi dasar yang dibawa sejak lahir (natural talent), atau kemampuan yang diasah lewat pembelajaran (learnt skill). Salah seorang peneliti yang bernama Bogardus (1931) menegaskan bahwa kemampuan memimpin atau kepemimpinan itu bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir, melainkan kemampuan yang dilatih melalui pembelajaran dan pengalaman hidup. Namun, ahli yang lain seperti Crainer (1996) mengatakan bahwa kemampuan memimpin adalah sesuatu yang sudah ada sejak lahir. Menurut Crainer setiap orang sudah membawa suatu keahlian dan kemampuan yang bisa digunakan di dalam bidang kepemimpinan.
            Dari definisi kepemimpinan yang bermacam-macam ini, dapat ditarik kesimpulan sementara tentang makna kepemimpinan, bahwa terdapat beberapa aspek di dalam kepemimpinan. Aspek yang pertama adalah persuasion and influence-usaha mempengaruhi, yang kedua adalah trust-rasa percaya, dan yang ketiga adalah process-adanya sebuah proses (Northouse, 1997). Seseorang itu menjadi pemimpin apabila orang tersebut sudah melawati atau mengalami ketiga aspek ini.
            Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi anggota organisasi lain untuk berkerja secara suka rela dalam mencapai tujuan organisasi tersebut (Fairholm, 1991). Dalam mempengaruhi anggota lain, seorang pemimpin harus mampu memberikan petunjuk-petunjuk sehingga proses pencapaian tujuan organisasi itu bisa tercapai dengan baik. Namun proses mempengaruhi di dalam kepemimpinan terjadi dalam dua arah, atau two-way persuasion. Artinya, di suatu kesempatan, pemimpin mempengaruhi bawahannya, tapi pada kesempatan lain, bawahanlah yang mempengaruhi pemimpinnya. Lebih lanjut, Yukl (1989, hal. 12) meneyebutkan hal senada bahwa “the influence process between leaders and followers is not unidirectional. Leaders influence followers, but followers also have some influence over leaders”. Burn (1978, hal. 2) juga menegaskan bahwa “how do leaders lead followers without being wholly led by followers”. Burn mempertanyakan bagaimana seseorang itu bisa memimpin tanpa dipimpin terlebih dahulu oleh anggota organisasi yang lain.
            Kemudian, seseorang itu belum tentu menjadi pemimpin hanya karena memiliki posisi tertentu di suatu organisasi; seseorang itu bukanlah pemimpin tanpa dipercayai atau trust oleh anggota organisasi lainnya (Prof. Peter Gronn. Wawancara individu pada tahun 2002 di Monash University, Melbourne Australia). Menurut Peter Gronn, anggota organisasi lainnya akan mengangkat seseorang menjadi pemimpin apabila mereka mempercayai orang tersebut. Tanpa kepercayaan atau trust dari anggota yang lain maka pemimpin (pemegang sebuah jabatan) tidak dianggap sebagai pemimpin yang sesungguhnya.
            Aspek selanjutnya di dalam kepemimpinan adalah adanya proses yang terjadi antara yang memimpin dengan yang dipimpin. Kepemimpinan dalam makna yang sebenarnya adalah sebuah proses saling kerja sama antara orang yang memegang jabatan dengan anggota lain. Di dalam menentukan tujuan organisasi, pemegang jabatan tidak mempunyai otoritas tertinggi, melainkan otoritas menjadi milik bersama. Bukanlah kepemimpinan tanpa kerjasama antara pemegang jabatan dan bawahannya.
            Dari uraian di atas bisa disimpulkan lebih mendalam bahwa kepemimpinan itu bukanlah ditentukan oleh posisi atau jabatan seseorang. Orang yang memegang jabatan, seperti Dekan atau Rektor di sebuah universitas, belum tentu sebagai pemimpin tanpa memperoleh kepercayaan dari bawahannya. Pejabat tersebut juga bukan pemimpin apabila mereka tidak mampu menumbuhkan integritas dari bawahannya untuk berkerja. Terakhir, pejabat tersebut belum juga disebut sebagai pemimpin yang hakiki, tanpa mempunyai keinginan untuk berkerjasama dengan bawahannya di dalam berbagai bidang.

B. Kepemimpinan dan Manajemen        

            Istilah kepemimpinan dan manajemen seringkali dianggap sinonim (Yukl, 1989), tapi para ahli ilmu kepemimpinan masih mengalami kesulitan membedakan kedua istilah tersebut. Fairholm (1991) menyebutkan walaupun kedua istilah tersebut sering dianggap sama, istilah kepemimpinan lebih duluan muncul dari pada istilah manejemen. Namun Nicholls (2002) berbeda pendapat dengan Fairholm, Nicholls berpendapat bahwa manajemen itu lebih penting daripada kepemimpinan. Para ahli juga berbeda pendapat apakah seseorang bisa menjadi pemimpin sekaligus manajer pada saat yang sama. Perbedaan-perbedaan pendapat ini pulalah yang mengaburkan perbedaan antara kepemimpinan dengan manajemen (leadership and management).
            Namun demikian, di sini perbedaan dari kedua istilah tersebut akan dianalisa dengan menguraikan definisi dari kedua istilah tersebut. Kepemimpinan adalah sebuah proses di dalam memberi inspirasi kepada anggota organisasi lainnya, dan mempengaruhi anggota tersebut untuk memiliki integritas di dalam mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain, pemimpin itu bertugas untuk menentukan visi organisasi dan selalu memprediksi kebutuhan masa depan (Fairholm, 1991). Sedangkan tugas menejer adalah mengelola integritas bawahan dan mempertahankan status Quo. Menejer tidak berinisiatif untuk menentukan visi organisasi. Singkatnya menejer lebih memikirkan bagaimana suatu pekerjaan itu dilakukan dengan se-efektif dan se-efesien mungkin sehingga produktifitas organisasi bisa terjaga.
            Setidaknya ada 2 perbedaan mendasar antara kedua istilah ini:
            a. Perbedaan dalam faktor seseorang menjadi pemimpin ataupun menejer
            Seorang pemimpin itu bisa muncul kapan saja dan dimana saja; seseorang menjadi pemimpin itu tidak mesti harus dipilih secara formal di dalam sebuah organisasi (Douglas, 1996), bahkan kepemimpinan itu bukanlah milik seorang individu, melainkan hanya sebuah proses social (Bass, 1981). Misalnya, ketika ada suatu kelompok merencanakan untuk melakukan sesuatu, maka hamper bisa dipastikan di dalam perkumpulan itu akan muncul seorang pemimpin. Hal ini terjadi karena anggota organisasi tersebut percaya kepada seseorang yang memiliki kecakapan melibihi mereka. Hosking (1988) dan Bogardus (1931) menegaskan bahwa seseorang itu bisa saja menjadi pemimpin karena kemampuannya berinteraksi dengan orang lain dalam berbagai situasi. Beberapa pemimpin besar seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr. dan Malcolm X menjadi pemimpin sebelum mereka memiliki sebuah organisasi yang menaungi mereka (Fulan, 2000). Mereka semuanya pertama sekali menjadi pemimpin dan dianggap sebagai pemimpin oleh anggota yang lain karena mereke mempunyai kelebihan. Ketiga pemimpin besar tersebut memiliki kelebihan di dalam kecakapan berbicara, kemampuan mempengaruhi dan memberi inspirasi kepada orang lain. Oleh karena itu, dengan sendirinya mereka diangkat dan dianggap sebagai pemimpin.

            b. Kepribadian kepemimpinan dan manajemen
Karakter kepemimpinan dan manajemen memiliki banyak perbedaan. Pemimpin selalu melakukan perubahan, mampu mengambil resiko, menentang status quo, dan mengeluarkan ide-ide perubahan di dalam meningkatkan produktifitas organisasi (Batten, 1989; Heifetz & Laurie, 1997). Karakter kepemimpinan lainnya adalah adanya kemampuan untuk berinovasi melalui kerjasama yang baik dengan pihak lain (Sorris & Butchatsky, 1996; Maccoby, 2000; Field, 2002). Seorang kepala polisi di negara bagian Victoria, Australia mengambil resiko dengan melakukan perubahan-perubahan penting di dalam organisasinya. Salah satu perubahan yang dia lakukan adalah menganti nama departemen-departemen dan memperbolehkan anggota polisi untuk memilih pakaian seragam sesuai dengan kesukaan mereka. Contoh tersebut adalah bentuk dari karakter seorang pemimpin. Pemimpin yang efektif memang harus berani mengambil resiko di dalam pengambilan keputusan. Namun, mereka juga harus peka dengan kebutuhan bawahannya.
Walaupun pemimpin mampu berkerja sendiri, mereka tetap memerlukan angota organisasi lain untuk menerapkan ide-ide pemipin tersebut (Gronn, 1999). Seorang pemimpin selalu berpikir jauh kedepan, memikirkan apa-apa yang akan terjadi dan yang akan dilakukan di masa depan untuk kepentingan organisasinya (Zaleznik, 1997; Fairholm, 1991; Crainer, 1996; Bell & Ritchie, 1999). Optimisme juga salah satu karakter dasar dari seorang pemimpin. Sebagai contoh, Mr. Jones, kepala sekolah di Beatrice Webb School di Inggris, mampu menyelamatkan sekolahnya dari kehancuran. Walaupun menghadapi masalah yang sangat besar dengan kekurangan keuangan, dan juga kekurangan jumlah murid, yang hanya 500 orang. Mr. Jones melaukan langkah-langkah yang sangat berani dan sangat optimis. Cara yang pertama sekali ia lakukan ialah dengan menarik perhatian murid-murid dari keluarga menengah keatas untuk memasuki sekolahnya. Mr. Jones juga mewajibkan seragamsekolah  kepada anak murid karena seragam bisa mengembangkan rasa kedisiplinan (Gewirtz & Ball, 2000). Optimisme seperti yang dimiliki oleh Mr. Jones sangatlah diperlukan sekarang ini di Indonesia khusunya. Mr. Jones mampu mengambil langka-langkah konkrit untuk meyelamatkan sekolahnya. Sebagai upaya meningkatkan kualitas organisasi atau lembaga pendidikan maka seorang pemimpin harus membuat lingkungan di lembaga tersebut menyenangkan (Heifetz dan Laurie, 1997).
Kemudian, pemimpin juga dianggap seorang agen perubahan; sebahagian dari pemimpin tersebut sangat revolusioner karena tugasnya memang mencari ide-ide baru yang bisa diterapkan di dalam lembaganya (Bass 1981; Fairholm, 1991 dan Gronn, 1999). Pemimpin itu juga harus aktif dan proaktif di dalam mencari metode-metode baru demi kemajuan lembaga (Batten, 1986; Crainer, 1996; Heifetz & Laurie, 1997; Barker, 2001). Sehingga, para pemimpin itu lebih fokus terhadap hasil dari yang bisa dicapai oleh lembaga atau end-oriented (Fairholm, 1991), artinya, seorang pemimpin tidak perduli dengan cara meningkatkan mutu lembaga; metode apapun boleh digunakan, makanya mereka sering mencari alternative metode asalkan hasil memuaskan bisa dicapai.
Sebaliknya, menejer lebih berposisi kepada mengelola stabilitas lembaga. Oleh karena itu, menejer cendrung mempertahankan status Quo asalkan hasil bisa dicapai. Para menejer tidak fokus kepada melakukan perubahan di dalam lembaganya. Sejauh hasil bisa dicapai dengan memuaskan maka mereka tidak mau berinisiatif untuk menemukan metode alternative. Menejer hanya mengelola sesuatu yang sudah dan sedang terjadi, mereka sering kali tidak memikirkan tentang metode yang harus digunakan di masa depan. Di dalam pergaulan keorganisasian, menejer hanya berhubungan dengan bawahannya sesuai dengan hirarkhi (Fairholm, 1991; Douglas, 1996). Jadi tugas utama menejer menurut Zeleznik (1997) dan Fairholm (1991) adalah mempertahankan stabilitas dan keutuhan sebuah lembaga; mereka mengelola, membuta perencanaan, mengontrol sesuatu yang bisa membuat stabilitas lembaga terjaga (Krantz & Gilmore, 1990; Sorros & Butchtsky, 1996).
Menejer mempunyai tugas untuk mengontrol system dan aktivitas lembaga; mereka juga berhubungan dengan kebijakan-kebijakan administrasi (Krantz & Gilmore, 1990; Sorros & Btchatsky, 1996). Dikarenakan tugas menejer untuk mempertahankan stabilitas lembaga, mereka sering menentukan waktu penyelesaian suatu tugas. Misalnya mereka berusaha memilih metode yang efisien dari segi uang dan waktu; prinsipnya adalh mendapatkan keuntungan yang banyak dengan modal dan waktu yang sangat sedikit. Untuk itu pula, menejer tidak mau fokus terlalu jauh kedepan, mereka lebih memikirkan dan fokus kepada suatu perkerjaan yang sedang mereka hadapi (Greenleaf, 1996). Dalam hal ini, secara tegas bahwa perbedaan kepemimpinan dengan menejemen adalah kepemimpinan memikirkan tentang keputusan apa yang harus diambil demi kemajuan lembaga. Sedangkan menejemen berpikir tentang bagaimana membuat sebuah keputusan yang efesien dari segi dana dan waktu (Zaleznik, 1997; Yukl, 1989; Crainer, 1996; Northouse, 1997). Perbedaan lainnya adalah kepemimpinan/pemimpin memikirkan metode baru (Heifetz & Laurie, 1997), sedangkan menejemen/menejer mempertahankan stabilitas lembaga (Crainer, 1996). Pemimpin mengunakan pengaruh di dalam memipin, sedangkan menejer mengunakan otoritas di dalam mengelola lembaga.

C. Kepemimpinan dan Jabatan-Kekuasaan dan otoritas

            Walaupun usaha untuk mendefinisikan kepemimpinan sudah sering dilakukan, masih terdapat banyak kekeliruan di dalam memaknai kepemimpinan. Terutama sekali kekeliruan ini terjadi di Indonesia. Orang Indonesia masih dibingungkan dengan istilah yang kelihatannya seragam. Di Indonesia, masyarakat masih menyamakan kepemimpinan (leadership) dengan jabatan (position or label), kekuasaan (power), dan otoritas (authority). Sering terjadi kesalahan di dalam membedakan keempat istilah tersebut. Kepemimpinan sering kali disamakan dengan jabatan, Misalnya seorang pemimpin, seringkali dianggap sebagai seseorang yang memiliki jabatan. Anggapan bahwa seseorang menjadi pemimpin hanyalah ketika dia memiliki jabatan adalah anggapan keliru yang belum bisa dihapuskan. Orang masih menyamakan antara pemimpin dan posisi padahal tidak semua yang mempunyai posisi itu pemimpin, dan tidak semua pemimpin itu mempunyai posisi. Sebagai contoh, seorang dekan (memiliki posisi), tetapi posisinya sebagai dekan tidak diakui oleh para staf dan civitas akademika lainnya. Dekan tersebut juga sudah tidak dipercayai oleh bawahannya, dan dia tidak mampu mempengaruhi bawahannya. Maka Dekan tersebut (yang memiliki jabatan), bukanlah seorang pemimpin karena esensi pemimpin dan kepemimpinan adalah mendapat dukungan dan kepercayaan para bawahan. Disisi lain, ada seorang karyawan, misalnya, seorang staff tidak memiliki posisi atau jabatan, tapi dia sangat dipercayai oleh teman sekantornya, ucapannya dipercayai, bahkan kolega tersebut rela berkorban demi sang karyawan itu. Maka dengan sendirinya, si karyawan tersebut adalah seorang pemimpin walaupun tidak memiliki posisi. Contoh tersebut menunjukkan bahwa memang kepemipinan itu tidak memiliki hubungan erat dengan posisi.
Kesalahan yang lain adalah kesalahan di dalam mendefinisikan kekuasaan (power) dengan otoritas (authority) . Prof. Laurie Angus, seorang ahli kepemimpinan di Monash University, membedakan antara kekuasaan (power) dengan otoritas (authority). Prof. Angus dan Rizvi mengatakan bahwa otoritas adalah “a legitimate use of influence” (hal 8), upaya mempengaruhi orang lain secara baik-baik. Sedangkan kekuasaan adalah upaya mempengaruhi orang lain melalui paksaan dan kekerasan. Angus and Rizvi memberikan penjelasan tentang kedua istilah ini dengan merujuk kepada definisi yang sudah dirumuskan oleh Weber (1985). Menurut Weber, kekuasaan adalah sesuatu yang dipraktekkan oleh seseorang di dalam melaksanakan pekerjaanya dalam sebuah organisasi walaupun mendapatkan tantangan dari pihak lain. Seseorang yang memiliki kekuasaan cendrung arogan dan konsisten dengan keputusan dan tindakannya walaupun tidak disetujui oleh koleganya. Sedangkan, otoritas adalah upaya menyelesaikan suatu pekerjaan di dalam organisasi melalui kerja sama antara satu anggota organisasi dengan anggota lainnya. Seseorang yang memiliki otoritas berusaha untuk tidak memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Mereka cendrung bekerja sama dengan pihak lain di dalam organisasi. Oleh karena itu, menurut Parson (1949) kekuasaan dan otoritas tidak bisa berjalan seiring.
Dikarenakan kesalah pahaman kita tentang makna kepemimpinan, maka sering sekali kita terjebak dengan kepercayaan bahwa pemimpin itu memiliki kekuasaan (power) atas bawahannya, padahal seorang pemimpin itu hanya memiliki otoritas (authority) untuk memimpin bawahannya dan bekerja sama untuk kepentingan organisasi tanpa mengunakan kekerasan. Nah kesalahan ini berakibat kepada kurangnya kontrol para bawahan atau unsur organisasi lainnya terhadap kinerja pemimpinnya. Misalnya, para staf ataupun dosen di dalam sebuah fakultas enggan mengontrol kinerja dekannya, karena mereka mempunyai pemikiran bahwa seorang pemimpin itu memiliki kekuasaan penuh atas mereka.

TEORI KEPEMIMPINAN

        Dikarenakan kesulitan di dalam mendefinisikan hakikat kepemimpinan, para peneliti dan pemerhati dalam bidang kepemimpinan ini menciptakan beberapa teori dan pendekatan untuk menemukan makna dari hakikat kepemimpinan. Walaupun demikian, belum ada satupun teori dan pendekatan yang mampu mendfinisikan hakikat kepemimpinan karena teori-teori tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing (Bass, 1981). Oleh karena itu, sampai sekarang belum ditemukan satupun makna kepemimpinan yang bisa berlaku secara universal. Spotts (1974) juga mengatakan bahwa sampai sekarang hakikat kepemimpinan belum berhasil ditarik walaupun sudah ada ratusan kajian tentang makna kepemimpinan ini.
            Dimasa awal-awal studi tentang hakikat kepemimpinan, para peneliti cendrung menganggap trait theory (teori sifat) sebagai sebuah teori yang representatif di dalam menerangkan makna kepemimpinan. Namun, sebahagian para ahli menolak teori ini dengan alasan bahwa kepemimpinan bukan hanya karena memiliki kelebihan sifat, misalnya kepandaian dalam berbicara, mempunyai status sosial tinggi dan lain sebagainya. Peniliti yang lainnya berpendapat bahwa situational theory (teori situasi) adalah teori yang sangat tepat. Namun kemudia, teori ini juga terbantahkan karena seorang pemimpinan memerlukan hal lain seperti kecocokan dalam style (gaya), dan juga sifat (trait). Fairholm (1991) menjelaskan bahwa teori-teori kepemimpinan yang popular adalah trait theory (meneliti tentang siapakah pemimpin itu sebenarnya. Teori yang kedua meneliti pekerjaan pemimpin (teori behavioral dan style), dan situational theory (tempat pimpinan menjalankan tugasnya.

  1. Traits theory (Teori sifat)

Ini adalah teori yang tertua yang terdapat di dalam studi literatur kepemimpinan. Beberapa peneliti menyebutnya juga sebagai the great man theory dan Psychological theory (Fairholm, 1991). Di tahun 1900 san teori ini sangat ppuler karena memang seorang pemimpin dianggap sebagai orang yang memunyai kelebihan dalm segala hal. Northouse (1997) mentebutkan bahwa studi tentang traits ini dilakukan untuk mengetahui faktor yang membuat seorang pemimpin itu berhasil, dan faktor yang membuat seorang pemimpin itu gagal dalam memimpin. Teori ini juga dikembangkan untuk mencari perbedaan antara pemimpin dengan anggota masyarakat pada umumnya. Dari hasil pengembangan terhadap trait theory ini ditemukan bahwa seorang pemimpin yang berhasil adalah orang yang memiliki kemampuan luar biasa seperti kecakapan di dalam bekerja dan mempunyai wawasan yang sangat luas (Yukl, 1994). Oleh karena itu, trait theory menyimpulkan bahwa seorang pemimpin yang berhasil harus memiliki kemampuan yang jauh melebihi kemampuan anggota organisasinya tersebut (Yukl, 1989). Menurut Bass (1981), seorang pemimpin memang arus memiliki kemampuan berbicara yang baik dan efektif. Oleh karena itu, Bass mengatakan bahwa para peneliti dalam bidang kepemimpin banyak yang mendukung teori sifat ini (traits theory, seperti Bernard (1926); Bingham (1927); Tead (1929); dan Kilbourne (1935).
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa teori sifat ini sangat popular pada awal-awal abad ke 20 karena memang teori tersebut muncul pada saat yang tepat. Pada saat itu, hanya orang-orang yang terbaik di dalam lingkungan masyarakat akan diangkat sebagai pemimpin. Dalam hal ini Northouse (1997) menjelaskan bahwa:
The theory that was developed was called great mean theory because it focused on identifying the innate qualities and characteristics possessed by great social, political and military leaders (i.e. Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, and Mahatma Gandhi). It was believed that people were born with these traits and only the great people possessed them (hal. 13). Menurut Northouse teori sifat ini juga disebut dengan “teori orang hebat” karena teori ini terfokus kepada kualitas pribadi seseorang yang dibawa sejak ia lahir.
Bass (1981) berpendapat bahwa pemimpin itu dianggap sebagai orang yang mempunyai kemampuan lebih dibandingkan dengan anggota organisasi lainnya. Teori sifat ini menjawab pertanyaan yang kontroversial tentang apakah seorang pemimpin yang hebat itu dilahirkan atau dibentuk. Teori ini dengan tegas menekankan bahwa pemimpin itu dilahirkan dengan membawa kualitas alami sejak lahir (Crainer, 1996). Bryman (1986) menjelaskan bahwa teoi sifat ini melakukan studi tentang kepemimpinan dengan mengunakan LTQ (Leadership traits questionnaires-angket tentang sifat kepemimpinan). Dalam angket tersebut, peneliti menekankan kepada tiga hal: pertama, penampilan fisik seperti tinggi, berat badan, dan penampilan fisik. Yang kedua adalah kemampuan otak seperti pintar, mempunyai bakat bicara yang lancer, dan beilmu pengetahuan. Ketiga adalah kepribadian seperti percaya diri, kemampuan mengontrol emosi dan mempunyai kemampuan untuk mengerti orang lain. Menurut teori sifat, pemimpin seperti Napoleon menjadi panglima dan pemimpin besar karena ia memiliki sifat alami yang luar biasa sejak lahir.
Pada masanya, teori ini menjadi objek penelitian para ahli bidang kepemimpinan. Stogdill menerbitkan penelitiannya dalam sebuah buku yang sangat tebal di tahun 1948 dan 1974. Di dalam laporan penelitiannya, stogdill menjawab pertanyaan tentang sifat atau karakteristik apa saja yang dianggap mampu meninkatkan kinerja seorang pemimpin (Yukl, 1989). Dalam periode tahun 1904 sampai tahun 1948, stogdill mempelajari 124 sifat dan karakter dan menemukan bahwa ada beberapa sifat yang membedakan seorang pemimpin dengan yang bukan pemimpin. Sifat-sifat tersebut adalah kemampuan intelektual, tanggung jawab, kemampuan beraktifitas dan bergaul dengan berbagai kalangan dan perbedaan social ekononmi. (Bass, 1981 dan Yukl 1989). Kemudia dalam periode tahun 1949 sampai dengan 1978, stogdil mempelajari 164 sifat lainnya. Dalam proses mempelajari sifat tersebut, Stogdill mengunakan berbagai macam alat seperti test situasi dan test projektif. Dia juga meninterview para manajer dan tenaga administraasi tentang hakikat kepemimpinan (bass, 1981 dan Yukl, 1989). Dalam laporan yang kedua, Stogdill temukan bahwa ada beberapa sifat yang membuat para pemimpin itu efektif. Namun, teori sifat ini (trait theory) tidak menjamin kesuksesan seorang pemimpin karena sifat tertentu hanya bisa efektif dalam situasi tertentu pula dan tidak effektif dalam situasi lainnya.
Walaupun teori sifat ini sempat popular di awal abad ke 20, teori ini mempunyai banyak kelemahan yang sangat sigjifikan. Salah satu kelemahannya adalah teori ini tidak memperhatikan situasi yang bisa mempengaruhi kinerja para pemimpin (Bass, 1981 dan Bryman 1986). Kelemahan lainnya adalah, teori sifat ini tidak menghubungkan antara keberhasilan para pemimpin dengan sifat yang dimilikinya. Tidak ditemukan dalam penelitian trait theory ini bahwa sifat tertentu akan mampu memberi hasil tertentu pula. Dikarenakan kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh trait theory maka, para peneliti dalam bidang kepemimpinan, mengembangkan teori lain untuk mampu memahami makna kepemimpinan tersebut.

  1. Style theory (Teori gaya)

Style theory atau teori gaya ini sangat berbeda dengan teori sifat yang sudah dijelaskan sebelumnya. Teori sebelumnya memberi makna dari hakikat kepemimpinan dengan melihat kepribadian seorang pemimpin, sedangkan teori gaya ini melihat hakikat kepemimpinan melalui penampilan ataupun tingkah laku para pemimpin tersebut (Northouse, 1997).  Setidaknya ada tiga alasan teori style ini dikembangkan. Alasan pertama adalah ketidak mampuan teori sifat meletakkan makna hakikat kepemimpinan itu sendiri. Kelemahan dari teori sifat ini terlihat dari hasil penelitian yang sudah diteliti terasa tidak konsisten. Kedua, alasan teori ini muncul karena adanya keinginan untuk melihat apa yang dikerjakan oleh pemimpin (what leaders do), bukan kepribadian pemimpin (who leaders are). Fokus dari teori gaya ini adalah melihat dan memaknai kepemimpinan melalui melihat tingkah laku mereka dan gaya mereka di dalam memipin. Alasan ketiga terhadap pengembangan teori ini adalah adanya keinginan dari para ahli untuk meneliti dampak dari gaya yang berbeda dalam sebuah organisasi (Bryman, 1986).
Setidaknya ada tiga usaha (penelitian) besar yang pernah dilakukan dengan berbahasa Inggris. Di akhir tahun 1940, Ohio State University (OSU) in Columbus-USA melakukan penelitian terhadap teori gaya ini. OSU melakukan penelitian terhadap aktivitas para pemimpin. Para peneliti tersebut yang berasal dari berbagai disiplin ilmu seperti dari bidang pendidikan, industri dan militer melihat dan mengevaluasi aktifitas para pemimpin (Bryman, 1986). Langkah pertama yang ditempuh oleh para peneliti adalah mendesain sebuah angket yang disingkat dengan LBDQ (Leader Behavior Description Questionnaires-Angket gambaran tentang tingkah laku pemimpin). Angket tersebut disebar ke 300 tentara angkatan udara untuk mendapatkan respon tentang tingkah laku para pemimpin mereka (Bryman, 1986). Melalui angket tersebut disimpulkan ada sekitar 2 faktor yang menentukan tingkah laku para pemimpin, yaitu initiate structure-mementingkan produktifitas organisasi dan consideration-lebih mementingkan kesejahteraan bawahan.
Disamping mendesain LBDQ, para peneliti di OSU juga mendesain SBDQ (Supervisory Behavior Description Questionnaires-Angket gambaran tentang tingkah laku pengawas). Kedua angket tersebut mempunyai perbedaan dalam ruang lingkupnya. LBDQ meneliti dimensi yang lebih luas selain initate structure dan consideration, sedangkan SBDQ mengkaji hanya initiate structure dan consideration. Selain dari kedua instrument tersebut sebelumnya, para peneliti di OSU juga mengembangkan angket yang disebut dengan LOQ (Leadership Opinion Questionnaires-Angket tentang pendapat para pemimpin). LOQ disebarkan pada kalangan para pemimpin untuk memperoleh respon tentang kepemimpinan yang efektif.
Universitas besar lainnya yang juga melakukan penelitian tentang kelakuan pemimpin adalah University of Michigan (UM). UM melakukan studi tentang motivasi dan perbuatan (performance) dalam organisasi (Bass, 1981 dan Bryman, 1986). UM juga melaksanakan penelitian tentang hubungan antara tindakan pemimpin dengan keberhasilan sebuah organisasi (Northouse, 1997). Walaupun ada perbedaan dalam beberapa hal antar UM dan OSU, kedua universitas tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu meneliti kelakuan pemimpin terhadap keberhasilan sebuah organisasi. Perbedaan signifikan dari kedua studi tersebut ialah, peneliti OSU berasal dari bidang ilmu dan karir yang berbeda-beda, peneliti di UM hanya terdiri dari ahli psikologi. Perbedaan mencolok lainnya ialah, OSU melakukan penelitian dalam bidang pendidikan, industri dan juga militer, sedangkan UM mengembangkan penelitiannya dalam bidang industri saja seperti hubungan antara buruh dengan supervisornya dan pekerja rel kereta api dengan para preman (Bass, 1981 dan Bryman, 1986). Hasil dari penelitian ini bisa disimpulkan bahwa para pemimpin yang medapatkan nilai tinggi dalam bidang employee oriented (menitik beratkan kepada para pekerja), mendapatkan nilai yang rendah dalam hal orientasi produksi, dan juga sebaliknya. Dari hasil penelitian ini, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kecil kemungkinan bagi para pemimpin untuk menselarakan antara employee oriented atau consideration dengan production oriented atau initiate structure.
Walaupun demikian, Blake dan Mouton melakukan penelitian tentang tingkah laku pemimpin pada tahun 1964, 1978 dan 1985. Penelitian tersebut mengantarkan mereka kepada sebuah kesimpulan bahwa orientasi kepada produksi dan bawahan sangat diperlukan untuk keberhasilan sebuah organisasi. Menurut mereka sebuah organisasi akan pincang kalau pemimpinnya hanya memperhatikan produksi. Begitu juga sebaliknya, organisasi tersebut akan berjalan pincang kalau pemimpinnya tidak memperhatikan kepada nasib para bawahan. Bawahan dan para staff adalah jantung dari sebuah organisasi, artinya ketimpangan di dalam memperlakukan para staf akan berakibat fatal terhadap produktifitas organisasi. Namun, perlakuan yang berlebihan terhadap bawahan yang bisa memanjakan mereka juga tidak akan memberikan dampak yang positif terhadap organisasi. Untuk itu, sesuai dengan rekomendasi Blake dan Mouton, para pemimpin harus mampu menyeimbangi diantara kedua faktor tersebut walaupun berdasar hasil penelitian yang dilakukan di OSU dan UM hal sperti itu akan sulit tercapai.
Teori gaya ini (style theory) yang hanya menjelaskan komponen-komponen dari tingkah laku pemimpin, memiliki beberapa kelebihan. Kelebihan pertama adalah teori ini memberikan kesempatan kepada para pemimpin untuk menilai tingkah laku mereka sendiri. Yang kedua, teori ini bisa dijadikan alat untuk menilai tingkah laku para pemimpin. Namun, teori gaya ini memiliki kekurangan yang menyebabkan teori ini tertolak. Style theory ini tidak mampu menjelaskan gaya kepemimpinan yang permanen dan tidak menentukan hubungan antar gaya terterntu dengan keberhasilan kepemimpinan seseorang (Northouse, 1997). Nah, kekurangan yang sangat mendasar inilah, style theory dianggap belum mampu menjelaskan hakikat kepemimpinan.

  1. Situational theory (Teori situasi)

Teori situasi ini menjelaskan keberhasilan sorang pemimpin itu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Esensi dari teori situasi ini adalah mencari korelasi antara pemimpin dan situasi serta kondisi dimana ia memimpin (Bogardus, 1931). Teori ini menegaskan bahwa tidak semua pemimpin itu berhasil dan efektif dalam semua situasi dan kondisi  (Bogardus, 1931; Yukl, 1994). Oleh karena itu, situasi sangat menentukan keberhasilan seorang pemimpin dan situasi jugalah yang menentukan apa-apa saja yang diperlukan oleh seorang pemimpin untuk keberhasilannya di dalam memimpin.
Berbeda dengan teori sifat yang menganggap pemimpin yang baik itu dilahirkan, teori situasi ini menegaskan bahwa pemimpin yang baik itu diciptakan. Menurut teori ini seorang pemimpin yang hebat bisa dilatih dan dibentuk melalui pelatihan-pelatihan; salah satunya dengan menciptakan sebuah situasi yang mengharuskan seseorang itu mengunakan keahliannya, kemampuannya, dan ide-idenya di dalam menghadapi situasi tersebut (Bogardus, 1931). Teori ini juga menegaskan bahwa hakikat kejujuran, kebohngan, konsisten, dan tidak konsisten itu berbeda dari satu situasi dengan situasi yang lainnya. Seorang pemimpin mungkin bisa berkonsisten di dalam menghadapi situasi tertentu, dan karakternya tersebut bisa saja berubah kita dia menghadapi situasi yang berbeda pula. Disamping mengdiagnosa situasi, teori ini juga mengevaluasi hubungan bawahan dan situasi dengan gaya kepemimpinan. Para pemimpin diharapkan untuk mampu menyesuaikna gaya kepemimpinannya di dalam menghadapi bawahan dan situasi yang berbeda pula. Beranjak dari pemikiran ini, teori situasi mendefiniskan kepemimpinan sebagai kemampuan seorang pemimpin di dalam menyesuaikan kemampuannya dengan situasi dan kondisi.
Disebabkan teori sebelumnya, traits dan style belum mampu memberikan definisi kepemimpinan dengan tegas, teori ini dianggap mampu memberi jawaban terhadap pertanyaan kontroversi tentang makna kepemimpinan (Bass, 1981). Istilah lain dari teori situasi ini (situational theory) adalah contingency approach-pendekatan situasi, artinya keberhasilan seorang pemimpin dipengaruhi oleh situasi tertentu (Yukl, 1989). Para ahli membenarkan hal ini karena seperti yang di lansir oleh Spotts (1974) bahwa tidak ada satupun pemimpin yang berhasil dalam segala bentuk situasi. Yukl (1989) juga sangat sependapat dengan spotts bahwa semua pemimpin bisa berbuat maksimal di dalam segala situasi. Burke (1943) memberikan contoh tentang isu ini. Burke menggambarkan bahwa dalam sebuah peperangan, prajurit berpangkat tinggi memang sudah sepantasnya diangkat sebagai pemimpin. Namun, dalam keadaan tenang dan dalam masa istirahat, maka tentara yang bisa meluculah yang menjadi pemimpin. Ketika para pasukan ingin mendarat ke pantai, maka tentara penjaga pantailah yang akan menjadi pemimpin.
Ilustrasi sebelumnya memberikan pemahaman yang jelas dalam usaha memahami hakikat kepemimpinan. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kedudukan/posisi tertinggi dalam sebuah organisasi belum tentu selamanya akan berperan sebagai pemimpin, kalau ada kemungkinan, yang memiliki kedudukan tinggi tersebut suatu saat akan menjadi bawahan tergantung dengan sikon dan kondisi. Misalnya, di dalam sebuah fakultas, dekan adalah seorang pemimpin yang tertinggi dalam keadaan normal, namun dekan tersebut akan menjadi bawahan ketika berhubungan dengan pelayanan terhadap mahasiswa internasional misalnya. Maka dalam keadaan seperti itu, penasehat mahasiswa internasional akan lebih berweneng di dalam memberikan pelayanan prima. Contoh lain, geng jalanan akan mengangkat teman seorganisasinya yang kuat, tangguh dan banyak uang untuk menjadi pemimpin mereka. Sedangkan dalam kegiatan kompanye, maka seseorang yang memiliki kecakapan berbicara lebih cocok untuk menjadi pemimpin. Di dalam sebuah organisasi orang yang pintar dan terpercaya akan dianggap sebagai pemimpin.  Melalui ilustrasi ini dapatlah kita pahami bahwa kepemimpinan itu bukanlah bersifat statis seperti kepercayaan sebahagian masyarakat saat ini tapi bersifat dinamis dan milik semua anggota dari sebuah organisasi.
Setidaknya ada empat teori lainnya yang sudah dikembangkan dalam kerangka teori situasi: Path-goal theory, situational leadership theory, leadership substitute theory, dan yang terakhir normative model theory, semua teori tersebut memiliki tugas dan fungsi masing-masing. Teori path goal berfungsi untuk menilai bagaimana situasi/keadaan tertentu mempengaruhi gaya kepemimpinan dan bagaimana gaya tersebut mampu memuaskan para bawahan. Teori situational leadership yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard berperan dalam menjelaskan hubungan antara kematangan bwahan dengan gaya kepemimpinan. Teori yang ketiga yaitu teory leadership substitute mengidentifikasi aspek dari situasi tertentu yang tidak terlalu membutuhkan kepada seorang pemimpin. Yang terakhir adalah teori normative model, yang dikembangkan oleh Vroom dan Yetton menjelaskan tentang pentingnya pengambilan keputusan yang tetap dan sesuai dengan kondisi (Yukl, 1989).
Teori situasi ini juga mengenal empat macam gaya kepemimpinan. S1 lebih mementingkan perintah daripada bantuan, S2 mementingkan kedua-dua hal, perintah dan bantuan, S3 lebih mementingkan pemberian bantuan daripada perintah, dan yang terakhir S4 tidak mementingkan kedua-duanya, perintah maupun bantuan. Dalam proses kepemimpinan, pemimpin dibolehkan mengunakan gaya manapun dari yang keempat tersebut dengan catatan penggunaannya sesuai dengan kualitas bawahan. Disamping mengelompokkan gaya kepemimpinan, teori situasi ini juga mengelompokkan

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar