Studi tentang kepemimpinan sudah
lama dilakukan oleh para ahli ilmu kepemimpinan. Bahkan sejak zaman klasik,
misalnya di zaman Plato, studi tentang makna kepemimpinan sudah menjadi hal
yang sangat menarik (Spotts (1964). Di sekitar tahun 1500 pun, Macchiavelli
sudah memulai studi tentang makna kepemimpinan ini. Studi tentang kepemimpian
sudah dilakukan dengan pendekatan quantitative dan juga qualitative (Northouse
1997). Melihat begitu pentingnya kajian tentang makna kepemimpinan, maka secara
terus menerus, para ahli mengkaji makna kepemimpinan ini melalui berbagai
pendekatan sehingga kajian ini menjadi sebuah kajian yang tidak pernah
berhenti.
Teori
yang pertama sekali dikembangkan di dalam mempelajari makna kepemimpinan
dilakukan dengan pendekatan Trait Theory atau teori sifat (pembawaan).
Para ahli ilmu kepemimpinan di Amerika Serikat menganggap seseorang sebagai
pemimpin dari kacamata sifat orang tersebut (Bass, 1981). Kalau seseorang itu
mempunyai kemampuan yang melebihi kemampuan anggota organisasi tertentu, maka
orang tersebut akan dianggap sebagai pemimpin. Menurut teori sifat ini,
seseorang akan menjadi pemimpin apabila orang tersebut memiliki kegagahan fisik,
kepintaran, kemampuan dalam berbicara, ketinggian status social, dan kelebihan
lainnya yang melebihi anggota sebuah organisasi atau masyarakat. Menurut Bass
(1981), Yukl (1989), dan Douglas (1996), trait theory ini muncul dan
berkembang dalam periode tahun 1904-1947. Di awal abad ke 19, teori ini sangat
populer dan dianggap sebuah teori yang mampu menjelaskan makna kepemimpinan.
Namun seiring dengan berjalannya waktu dan kajian yang dilakukan setelah tahun
1945 sampai 1950, para ahli menemukan bahwa trait theory ini memiliki
kelemahan-kelemahan sehingga tidak mampu menjelaskan makna kepemimpinan secara
memuaskan. Hal ini dikarenakan, dalam kehidupan, banyak ditemukan
pemimpin-pemimpin yang memiliki sifat-sifat dasar (trait) berbeda-beda namun
mampu memimpin dengan berhasil. Pada sisi yang lain, ada pemimpin-pemimpin yang
memiliki sifat yang sama (similar trait) tapi sebahagian pemimpin
berhasil sedangkan sebahagian lainnya gagal di dalam kepemimpinannya. Ditemukan
pula bahwa kemampuan seseorang di dalam memimpin bukan karena kehebatan
sifatnya (trait) saja tapi karena keahliannya tersebut diakui oleh
anggota organisasi lainnya (Knickerbocker, 1948). Kenyataan ini membuktikan
bahwa trait theory mempunyai kelemahan-kelemahan sehingga ahli ilmu
kepemimpinan mencari alternatif lain. Salah satu teori alternatif adalah
Style Theory (Bryman, 1986).
Style Theory atau teori gaya kepemimpinan ini, memiliki karakter yang
berbeda dengan teori sebelumnya. Style theory ini lebih mengkaji kepada
pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dari pada sifat seseorang tersebut.
Douglas (1996) menyebutkan bahwa since the development of style theory,
researchers investigates how leaders behave or the jobs of leaders rather than
who leaders are. Douglas dengan tegas mengatakan bahwa style theory ini
memandang seseorang sebagai pemimpin dari sudut pandang kualitas pekerjaan yang
dilakoni oleh seseorang.
Walaupun teori style ini berkembang dengan pesat, teori ini belum juga
mampu menjelaskan makna kepemimpinan secara menyuluruh. Bahkan 2 universitas
besar di Amerika Serikat yaitu Ohio State University dan the University of
Michigan sudah mengembangkan penelitian tentang style theory ini. Kedua
penelitian tersebut menemukan bahwa setidaknya ada 2 bentuk style atau
tingkah laku pemimpin, yaitu: consideration (lebih peduli kepada para
pekerja), dan initiate structure (lebih mementingkan produktifitas).
Namun, masih ditemukan kelemahan-kelemahan mendasar dari teori ini. Tidak ada
satupun peneliti mampu membuktikan ada hubungan antara gaya kepemimpinan dengan
keberhasilan. Kelemahan yang lain adalah para peneliti belum menemukan style
(gaya) yang bisa diterima secara universal (tidak adanya universalitas gaya
kepemimpinan yang dianggap effektif). Oleh karena itu, dengan sendirinya style
theory ini juga tertolak.
Dengan tertolaknya style theory ini, maka muncullah situational
theory atau teori situasi. Teori yang dikembangkan oleh Hersey dan
Blanchard ini menilai bahwa seorang pemimpin itu akan berhasil apabila, sifat
dan gaya kepemimpinannya itu sesuai dengan situasi yang sedang terjadi. Teori
ini sangatlah populer dan banyak diadopsi di dalam pelatihan-pelatihan
kepemimpinan. Ide sentral dari teori ini adalah “the basic premise of the
theory is that different situations demand different kinds of leadership”
(Northouse, 1997, hal. 53). Menurut Northouse ini, situational theory
ini menilai bahwa seseorang itu baru dianggap pemimpin yang efektif apabila
sifat dan gaya kepemimpinannya itu sesuai dengan situasi yang sedang
berlangsung. Menurut teori ini, kepemimpinan itu berhubungan erat dengan
situasi; seseorang tidak mampu memimpin tanpa memiliki kemampuan mengontrol dan
menganalisa situasi dimana orang tersebut memimpin. Walaupun teori ini berkembang
pesat, banyak ktitik yang ditujukan kepada teori tersebut. Situational
theory ini tidak didukung oleh penelitian yang mencukupi sehingga keabsahan
dalam hal keilmuan masih diragukan. Bahkan penelitian yang sudah adapun masih
diliputi oleh banyak kekurangan dan kelemahan dari segi metodenya.
Di samping kontroversi dibidang teori di dalam mejelaskan arti kepemimpinan,
makna kepemimpinan ini menjadi lebih kontroversi dan sulit dijelaskan dengan
munculnya istilah-istilah yang bermakna ganda. Misalnya, masyarakat masih
bingung dengan istilah kepemimpinan-manajemen, kepemimpinan-kekuasaaan, dan
juga istilah kepemimpinan-posisi atau jabatan. Munculnya istilah yang
kontroversi ini membuat semakin kaburnya makna kepemimpinan itu sendiri.
Pertanyaan tentang karkteristik pemimpin yang efektif juga menjadi pengkajian
ilmu kepemimpinan. Kontroversi yang baru muncul tentang siapakah pemimpin
efektif itu? apa saja sifat-sifat dari pemimpin efektif? dan siapakah yang
lebih efektif dalam memimpin, perempuan atau laki-laki? Apakah arti
kepemimpinan sama di satu budaya dengan budaya yang lain? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut memaksa ahli dalam bidang ilmu kepemimpinan ini berkutat di dalam
mencari cara yang efektif untuk mendefinisikan makna kepemimpinan.
Buku ini terdiri dari dua bagian, yang pertama akan mencoba menelaah makna
kepemimpinan yang masih menjadi kontroversi ini. Kajian kepemimpinan di dalam
buku ini akan dikaitkan dengan kepimpinan di dalam pendidikan (Educational
Leadership). Selanjutnya kajian tentang kepemimpinan yang cocok untuk
karakter lembaga pendidikan di Indonesia akan dijabarkan, sehingga buku ini
menjadi pegangan tidak hanya bagi para pemimpin, tetapi juga bagi para
mahasiswa dan professional yang tertarik dengan kondisi pendidikan di Indonesia
sekarang ini.
Bab selanjutya dari buku ini akan menjelaskan beberapa istilah yang
berhubungan dengan kepemimpinan. Pertama sekali akan dijelaskan makna
kepemimpinan sesuai dengan definisi-definisi yang sudah ada. Makna kepemimpinan
tersebut akan diulas dan dikaitkan dengan manajemen, kekuasaan, dan jabatan.
Diharapkan dengan ulasan di bab 2 ini akan memberi kejelasan tentang
istilah-istilah yang bermakna ganda. Bab 3 memberi informasi tentang trait,
style dan situational theories. Bab ini mencoba melihat dan mengkaji
kembali teori kepemimpinan yang sudah dikembangkan sebelumnya. Di dalam bab
4 akan ditemui penjelasan singkat tentang penelitian tentang kepemimpinan
yang sudah dilakukan oleh Ohio State University dan the University of Michigan.
Bab 5 menjelasakan tentang tipe-tipe kepemimpinan seperti transactional,
transformational, charisma, pseudo transformational dan collegiate
leadership. Diharapkan bab ini akan mampu menjelaskan secara singkat dan
padat tentang tipe-tipe kepemimpinan yang sudah diteliti dan dikembangkan
selama ini. Di dalam bab 6, pembaca akan disuguhkan dengan ulasan
tentang kepemimpinan yang cocok untuk lembaga pendidikan di Indonesia dan
apa-apa saja tanggung jawab mereka, sehingga mutu pendidikan di Indonesia bisa
dikembangkan ke arah yang lebih baik.
Bahagian kedua dari buku ini akan menelaah hakikat kepemimpinan dalam
perspektif Islam. Islam sebagai agama universal sudah merumuskan makna dan
hakikat kepemimpinan. Oleh karena itu, di dalam pembahasan bab-bab selanjutnya
di dalam bahagian kedua ini, pembaca akan disajikan dengan firman Allah dan
juga sabda Rasulullah yang berhubungan dengan hakikat kepemimpinan. Bab 7
menelaah hakikat kepemimpinan melalui Firman Allah. Dalam bab selanjutnya, Bab
8 akan mengulas hakikat kepemimpinan dalam kaca mata sunnah Nabi. Bab
terakhir, bab 9 mengkaji kepemimpinan yang dalam proses pendidikan yang
berbasiskan sirah nabawiyah.
DEFINISI KEPEMIMPINAN
A. Definisi Kepemimpian
Walaupun studi tentang kepemimpinan sudah berlangsung cukup lama sejak zaman
klasik, Bass (1981) berpendapat bahwa kata kepemimpinan (leadership)
pertama kali muncul pada pertengahan abad ke 19 di dalam lapangan politik.
Namun sejak kemunculannya secara formal tersebut, makna kepemimpinan itu
sendiri masih kontroversi. Orang memang sering mengunakan kata kepemimpinan ini
tapi maknanya yang jelas masih belum terungkap (Burn, 1978, Hosking, 1988, dan
Nicholls, 2002). Walaupun demikian, para ahli ilmu kepemimpinan terus mengkaji
dan berusaha untuk mendefinisikan kepemimpinan. Oleh karena itu, sudah banyak
terlihat definisi yang sudah dirumuskan oleh para ahli di dalam buku-buku
kepemimpinan dan administrasi. Sebahagian ahli mengatakan bahwa kepemimpinan
itu adalah kemampuan untuk memberi inspirasi kepada orang lain, ahli yang lain
mengatakan kepemimpinan itu adalah sebuah proses yang terjadi di dalam sebuah
organisasi, yang lainnya melihat dari segi sifat dan tingkah laku para
pemimpin. Perbedaan ini terjadi karena kata kepemimpinan (leadership)
ini sama seperti kata-kata cinta (love) dan demokrasi (democracy).
Meskipun secara intuisi banyak yang tahu makna dari istilah tersebut, makna
sebenarnya masih sangat sulit dirumuskan (Bass, 1981; Northouse, 1997; Barker
2000; dan Nicholls, 2002).
Memahami makna kepemimpinan tidaklah semudah mendefinisikan istilah leadership
atau kepemimpinan. Pemahaman terhadap istilah kepemimpinan sangatlah komplek.
Seringkali kepemimpinan (leadership) dimaknai sebagai ketua (headship).
Sering juga manajemen, kekuasaan, status, dan otoritas disamakan artinya dengan
kepemimpinan (Fairholm, 1991). Padahal kepemimpinan itu sebenarnya tidak
terikat dengan posisi. Artinya, orang yang tidak memiliki posisi didalam
keorganisasian masih bisa menjadi pemimpin. Fairholm (1991) berpendapat bahwa “holding
a position of high status does not make one a leader” (hal. 27). Sudah
jelas bahwa sebuah status atau jabatan tidak menjamin seseorang menjadi pemimpin.
Yang menjadikan seseorang itu pemimpin adalah kemampuannya di dalam
mempengaruhi orang lain untuk melakukan tugas keorganisasian dengan suka rela.
Esensi kepemimpinan bukanlah pada berapa tinggi status seseorang itu, tapi pada
berapa besarnya keinginan orang lain untuk mengikuti perintahnya secara suka
rela. Seseorang menjadi pemimpin apabila orang tersebut mendapat kepercayaan
dari orang lain (Carter, 1953; Mindl, 1955). Gibb (1969, hal. 12) menegaskan
hal senada bahwa “leadership is given by perception of group members that an
act of one of their member contributes positively to group progress and the
attainment of distributed satisfaction”.
Kepemimpinan adalah sebuah proses mempengaruhi orang lain untuk melaksanakan
tugas-tugas organisasi secara suka rela (Fairholm, 1991; Gardner, 2000). Bahkan
menurut Gemmil dan Oakley (1992) kepemimpinan adalah sebuah proses kerjasama
antara anggota organisasi dalam merumuskan metode baru untuk meningkatkan
kualitas organisasi. Fulan (2000, hal. 3) mengatakan bahwa “leadership is a
process of persuasion or example by which an individual (or leadership team)
induce the group to pursue objectives shared by the leaders and his or her
followers”. Fulan berpendapat bahwa kepemimpinan adalah suatu proses untuk
mempengaruhi anggota organisasi lainnya untuk mencapai tujuan yang sudah
dirumuskan oleh pemimpin dan anggota organisasi lainnya. Ini artinya bahwa
kepemimpinan bukan hanya didefinisikan dari sudut jabatan, tapi lebih tepatnya,
kepemimpinan ini adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa
paksaan untuk mencapai sesuatu yang sudah dirumuskan sebelumnya oleh anggota
organisasi.
Terjadi perbedaan pendapat tentang apakah kemampuan memimpin itu adalah potensi
dasar yang dibawa sejak lahir (natural talent), atau kemampuan yang
diasah lewat pembelajaran (learnt skill). Salah seorang peneliti yang
bernama Bogardus (1931) menegaskan bahwa kemampuan memimpin atau kepemimpinan
itu bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir, melainkan kemampuan yang dilatih
melalui pembelajaran dan pengalaman hidup. Namun, ahli yang lain seperti
Crainer (1996) mengatakan bahwa kemampuan memimpin adalah sesuatu yang sudah
ada sejak lahir. Menurut Crainer setiap orang sudah membawa suatu keahlian dan
kemampuan yang bisa digunakan di dalam bidang kepemimpinan.
Dari definisi kepemimpinan yang bermacam-macam ini, dapat ditarik kesimpulan
sementara tentang makna kepemimpinan, bahwa terdapat beberapa aspek di dalam
kepemimpinan. Aspek yang pertama adalah persuasion and influence-usaha
mempengaruhi, yang kedua adalah trust-rasa percaya, dan yang ketiga
adalah process-adanya sebuah proses (Northouse, 1997). Seseorang itu
menjadi pemimpin apabila orang tersebut sudah melawati atau mengalami ketiga
aspek ini.
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi anggota organisasi lain untuk
berkerja secara suka rela dalam mencapai tujuan organisasi tersebut (Fairholm,
1991). Dalam mempengaruhi anggota lain, seorang pemimpin harus mampu memberikan
petunjuk-petunjuk sehingga proses pencapaian tujuan organisasi itu bisa
tercapai dengan baik. Namun proses mempengaruhi di dalam kepemimpinan terjadi
dalam dua arah, atau two-way persuasion. Artinya, di suatu kesempatan,
pemimpin mempengaruhi bawahannya, tapi pada kesempatan lain, bawahanlah yang
mempengaruhi pemimpinnya. Lebih lanjut, Yukl (1989, hal. 12) meneyebutkan hal
senada bahwa “the influence process between leaders and followers is not
unidirectional. Leaders influence followers, but followers also have some
influence over leaders”. Burn (1978, hal. 2) juga menegaskan bahwa “how
do leaders lead followers without being wholly led by followers”. Burn
mempertanyakan bagaimana seseorang itu bisa memimpin tanpa dipimpin terlebih
dahulu oleh anggota organisasi yang lain.
Kemudian, seseorang itu belum tentu menjadi pemimpin hanya karena memiliki
posisi tertentu di suatu organisasi; seseorang itu bukanlah pemimpin tanpa
dipercayai atau trust oleh anggota organisasi lainnya (Prof. Peter
Gronn. Wawancara individu pada tahun 2002 di Monash University, Melbourne
Australia). Menurut Peter Gronn, anggota organisasi lainnya akan mengangkat
seseorang menjadi pemimpin apabila mereka mempercayai orang tersebut. Tanpa
kepercayaan atau trust dari anggota yang lain maka pemimpin (pemegang
sebuah jabatan) tidak dianggap sebagai pemimpin yang sesungguhnya.
Aspek selanjutnya di dalam kepemimpinan adalah adanya proses yang terjadi
antara yang memimpin dengan yang dipimpin. Kepemimpinan dalam makna yang sebenarnya
adalah sebuah proses saling kerja sama antara orang yang memegang jabatan
dengan anggota lain. Di dalam menentukan tujuan organisasi, pemegang jabatan
tidak mempunyai otoritas tertinggi, melainkan otoritas menjadi milik bersama.
Bukanlah kepemimpinan tanpa kerjasama antara pemegang jabatan dan bawahannya.
Dari uraian di atas bisa disimpulkan lebih mendalam bahwa kepemimpinan itu
bukanlah ditentukan oleh posisi atau jabatan seseorang. Orang yang memegang
jabatan, seperti Dekan atau Rektor di sebuah universitas, belum tentu sebagai
pemimpin tanpa memperoleh kepercayaan dari bawahannya. Pejabat tersebut juga
bukan pemimpin apabila mereka tidak mampu menumbuhkan integritas dari
bawahannya untuk berkerja. Terakhir, pejabat tersebut belum juga disebut
sebagai pemimpin yang hakiki, tanpa mempunyai keinginan untuk berkerjasama
dengan bawahannya di dalam berbagai bidang.
B. Kepemimpinan dan Manajemen
Istilah kepemimpinan dan manajemen seringkali dianggap sinonim (Yukl, 1989),
tapi para ahli ilmu kepemimpinan masih mengalami kesulitan membedakan kedua
istilah tersebut. Fairholm (1991) menyebutkan walaupun kedua istilah tersebut
sering dianggap sama, istilah kepemimpinan lebih duluan muncul dari pada
istilah manejemen. Namun Nicholls (2002) berbeda pendapat dengan Fairholm,
Nicholls berpendapat bahwa manajemen itu lebih penting daripada kepemimpinan.
Para ahli juga berbeda pendapat apakah seseorang bisa menjadi pemimpin
sekaligus manajer pada saat yang sama. Perbedaan-perbedaan pendapat ini pulalah
yang mengaburkan perbedaan antara kepemimpinan dengan manajemen (leadership
and management).
Namun demikian, di sini perbedaan dari kedua istilah tersebut akan dianalisa
dengan menguraikan definisi dari kedua istilah tersebut. Kepemimpinan adalah
sebuah proses di dalam memberi inspirasi kepada anggota organisasi lainnya, dan
mempengaruhi anggota tersebut untuk memiliki integritas di dalam mencapai
tujuan organisasi. Dengan kata lain, pemimpin itu bertugas untuk menentukan visi
organisasi dan selalu memprediksi kebutuhan masa depan (Fairholm, 1991).
Sedangkan tugas menejer adalah mengelola integritas bawahan dan mempertahankan
status Quo. Menejer tidak berinisiatif untuk menentukan visi organisasi.
Singkatnya menejer lebih memikirkan bagaimana suatu pekerjaan itu dilakukan
dengan se-efektif dan se-efesien mungkin sehingga produktifitas organisasi bisa
terjaga.
Setidaknya ada 2 perbedaan mendasar antara kedua istilah ini:
a. Perbedaan dalam faktor seseorang menjadi pemimpin
ataupun menejer
Seorang pemimpin itu bisa muncul
kapan saja dan dimana saja; seseorang menjadi pemimpin itu tidak mesti harus
dipilih secara formal di dalam sebuah organisasi (Douglas, 1996), bahkan
kepemimpinan itu bukanlah milik seorang individu, melainkan hanya sebuah proses
social (Bass, 1981). Misalnya, ketika ada suatu kelompok merencanakan untuk
melakukan sesuatu, maka hamper bisa dipastikan di dalam perkumpulan itu akan
muncul seorang pemimpin. Hal ini terjadi karena anggota organisasi tersebut
percaya kepada seseorang yang memiliki kecakapan melibihi mereka. Hosking
(1988) dan Bogardus (1931) menegaskan bahwa seseorang itu bisa saja menjadi
pemimpin karena kemampuannya berinteraksi dengan orang lain dalam berbagai situasi.
Beberapa pemimpin besar seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr. dan
Malcolm X menjadi pemimpin sebelum mereka memiliki sebuah organisasi yang
menaungi mereka (Fulan, 2000). Mereka semuanya pertama sekali menjadi pemimpin
dan dianggap sebagai pemimpin oleh anggota yang lain karena mereke mempunyai
kelebihan. Ketiga pemimpin besar tersebut memiliki kelebihan di dalam kecakapan
berbicara, kemampuan mempengaruhi dan memberi inspirasi kepada orang lain. Oleh
karena itu, dengan sendirinya mereka diangkat dan dianggap sebagai pemimpin.
b. Kepribadian kepemimpinan dan
manajemen
Karakter
kepemimpinan dan manajemen memiliki banyak perbedaan. Pemimpin selalu melakukan
perubahan, mampu mengambil resiko, menentang status quo, dan mengeluarkan ide-ide
perubahan di dalam meningkatkan produktifitas organisasi (Batten, 1989; Heifetz
& Laurie, 1997). Karakter kepemimpinan lainnya adalah adanya kemampuan
untuk berinovasi melalui kerjasama yang baik dengan pihak lain (Sorris &
Butchatsky, 1996; Maccoby, 2000; Field, 2002). Seorang kepala polisi di negara
bagian Victoria, Australia mengambil resiko dengan melakukan
perubahan-perubahan penting di dalam organisasinya. Salah satu perubahan yang
dia lakukan adalah menganti nama departemen-departemen dan memperbolehkan
anggota polisi untuk memilih pakaian seragam sesuai dengan kesukaan mereka.
Contoh tersebut adalah bentuk dari karakter seorang pemimpin. Pemimpin yang
efektif memang harus berani mengambil resiko di dalam pengambilan keputusan.
Namun, mereka juga harus peka dengan kebutuhan bawahannya.
Walaupun
pemimpin mampu berkerja sendiri, mereka tetap memerlukan angota organisasi lain
untuk menerapkan ide-ide pemipin tersebut (Gronn, 1999). Seorang pemimpin
selalu berpikir jauh kedepan, memikirkan apa-apa yang akan terjadi dan yang
akan dilakukan di masa depan untuk kepentingan organisasinya (Zaleznik, 1997;
Fairholm, 1991; Crainer, 1996; Bell & Ritchie, 1999). Optimisme juga salah
satu karakter dasar dari seorang pemimpin. Sebagai contoh, Mr. Jones, kepala
sekolah di Beatrice Webb School di Inggris, mampu menyelamatkan sekolahnya dari
kehancuran. Walaupun menghadapi masalah yang sangat besar dengan kekurangan
keuangan, dan juga kekurangan jumlah murid, yang hanya 500 orang. Mr. Jones
melaukan langkah-langkah yang sangat berani dan sangat optimis. Cara yang
pertama sekali ia lakukan ialah dengan menarik perhatian murid-murid dari
keluarga menengah keatas untuk memasuki sekolahnya. Mr. Jones juga mewajibkan
seragamsekolah kepada anak murid karena seragam bisa mengembangkan rasa
kedisiplinan (Gewirtz & Ball, 2000). Optimisme seperti yang dimiliki oleh
Mr. Jones sangatlah diperlukan sekarang ini di Indonesia khusunya. Mr. Jones
mampu mengambil langka-langkah konkrit untuk meyelamatkan sekolahnya. Sebagai upaya
meningkatkan kualitas organisasi atau lembaga pendidikan maka seorang pemimpin
harus membuat lingkungan di lembaga tersebut menyenangkan (Heifetz dan Laurie,
1997).
Kemudian,
pemimpin juga dianggap seorang agen perubahan; sebahagian dari pemimpin
tersebut sangat revolusioner karena tugasnya memang mencari ide-ide baru yang
bisa diterapkan di dalam lembaganya (Bass 1981; Fairholm, 1991 dan Gronn,
1999). Pemimpin itu juga harus aktif dan proaktif di dalam mencari
metode-metode baru demi kemajuan lembaga (Batten, 1986; Crainer, 1996; Heifetz
& Laurie, 1997; Barker, 2001). Sehingga, para pemimpin itu lebih fokus
terhadap hasil dari yang bisa dicapai oleh lembaga atau end-oriented (Fairholm,
1991), artinya, seorang pemimpin tidak perduli dengan cara meningkatkan mutu
lembaga; metode apapun boleh digunakan, makanya mereka sering mencari
alternative metode asalkan hasil memuaskan bisa dicapai.
Sebaliknya,
menejer lebih berposisi kepada mengelola stabilitas lembaga. Oleh karena itu,
menejer cendrung mempertahankan status Quo asalkan hasil bisa dicapai. Para
menejer tidak fokus kepada melakukan perubahan di dalam lembaganya. Sejauh
hasil bisa dicapai dengan memuaskan maka mereka tidak mau berinisiatif untuk
menemukan metode alternative. Menejer hanya mengelola sesuatu yang sudah dan
sedang terjadi, mereka sering kali tidak memikirkan tentang metode yang harus
digunakan di masa depan. Di dalam pergaulan keorganisasian, menejer hanya
berhubungan dengan bawahannya sesuai dengan hirarkhi (Fairholm, 1991; Douglas,
1996). Jadi tugas utama menejer menurut Zeleznik (1997) dan Fairholm (1991)
adalah mempertahankan stabilitas dan keutuhan sebuah lembaga; mereka mengelola,
membuta perencanaan, mengontrol sesuatu yang bisa membuat stabilitas lembaga
terjaga (Krantz & Gilmore, 1990; Sorros & Butchtsky, 1996).
Menejer
mempunyai tugas untuk mengontrol system dan aktivitas lembaga; mereka juga
berhubungan dengan kebijakan-kebijakan administrasi (Krantz & Gilmore,
1990; Sorros & Btchatsky, 1996). Dikarenakan tugas menejer untuk
mempertahankan stabilitas lembaga, mereka sering menentukan waktu penyelesaian
suatu tugas. Misalnya mereka berusaha memilih metode yang efisien dari segi
uang dan waktu; prinsipnya adalh mendapatkan keuntungan yang banyak dengan
modal dan waktu yang sangat sedikit. Untuk itu pula, menejer tidak mau fokus
terlalu jauh kedepan, mereka lebih memikirkan dan fokus kepada suatu perkerjaan
yang sedang mereka hadapi (Greenleaf, 1996). Dalam hal ini, secara tegas bahwa
perbedaan kepemimpinan dengan menejemen adalah kepemimpinan memikirkan tentang
keputusan apa yang harus diambil demi kemajuan lembaga. Sedangkan menejemen
berpikir tentang bagaimana membuat sebuah keputusan yang efesien dari segi dana
dan waktu (Zaleznik, 1997; Yukl, 1989; Crainer, 1996; Northouse, 1997). Perbedaan
lainnya adalah kepemimpinan/pemimpin memikirkan metode baru (Heifetz &
Laurie, 1997), sedangkan menejemen/menejer mempertahankan stabilitas lembaga
(Crainer, 1996). Pemimpin mengunakan pengaruh di dalam memipin, sedangkan
menejer mengunakan otoritas di dalam mengelola lembaga.
C. Kepemimpinan dan
Jabatan-Kekuasaan dan otoritas
Walaupun usaha untuk mendefinisikan kepemimpinan sudah sering dilakukan, masih
terdapat banyak kekeliruan di dalam memaknai kepemimpinan. Terutama sekali
kekeliruan ini terjadi di Indonesia. Orang Indonesia masih dibingungkan dengan
istilah yang kelihatannya seragam. Di Indonesia, masyarakat masih menyamakan
kepemimpinan (leadership) dengan jabatan (position or label),
kekuasaan (power), dan otoritas (authority). Sering terjadi
kesalahan di dalam membedakan keempat istilah tersebut. Kepemimpinan sering
kali disamakan dengan jabatan, Misalnya seorang pemimpin, seringkali dianggap
sebagai seseorang yang memiliki jabatan. Anggapan bahwa seseorang menjadi
pemimpin hanyalah ketika dia memiliki jabatan adalah anggapan keliru yang belum
bisa dihapuskan. Orang masih menyamakan antara pemimpin dan posisi padahal
tidak semua yang mempunyai posisi itu pemimpin, dan tidak semua pemimpin itu
mempunyai posisi. Sebagai contoh, seorang dekan (memiliki posisi), tetapi
posisinya sebagai dekan tidak diakui oleh para staf dan civitas akademika
lainnya. Dekan tersebut juga sudah tidak dipercayai oleh bawahannya, dan dia
tidak mampu mempengaruhi bawahannya. Maka Dekan tersebut (yang memiliki
jabatan), bukanlah seorang pemimpin karena esensi pemimpin dan kepemimpinan
adalah mendapat dukungan dan kepercayaan para bawahan. Disisi lain, ada seorang
karyawan, misalnya, seorang staff tidak memiliki posisi atau jabatan, tapi dia
sangat dipercayai oleh teman sekantornya, ucapannya dipercayai, bahkan kolega
tersebut rela berkorban demi sang karyawan itu. Maka dengan sendirinya, si
karyawan tersebut adalah seorang pemimpin walaupun tidak memiliki posisi.
Contoh tersebut menunjukkan bahwa memang kepemipinan itu tidak memiliki
hubungan erat dengan posisi.
Kesalahan
yang lain adalah kesalahan di dalam mendefinisikan kekuasaan (power)
dengan otoritas (authority) . Prof. Laurie Angus, seorang ahli
kepemimpinan di Monash University, membedakan antara kekuasaan (power)
dengan otoritas (authority). Prof. Angus dan Rizvi mengatakan bahwa otoritas
adalah “a legitimate use of influence” (hal 8), upaya mempengaruhi orang
lain secara baik-baik. Sedangkan kekuasaan adalah upaya mempengaruhi orang lain
melalui paksaan dan kekerasan. Angus and Rizvi memberikan penjelasan tentang
kedua istilah ini dengan merujuk kepada definisi yang sudah dirumuskan oleh
Weber (1985). Menurut Weber, kekuasaan adalah sesuatu yang dipraktekkan oleh
seseorang di dalam melaksanakan pekerjaanya dalam sebuah organisasi walaupun
mendapatkan tantangan dari pihak lain. Seseorang yang memiliki kekuasaan
cendrung arogan dan konsisten dengan keputusan dan tindakannya walaupun tidak
disetujui oleh koleganya. Sedangkan, otoritas adalah upaya menyelesaikan suatu
pekerjaan di dalam organisasi melalui kerja sama antara satu anggota organisasi
dengan anggota lainnya. Seseorang yang memiliki otoritas berusaha untuk tidak
memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Mereka cendrung bekerja sama dengan
pihak lain di dalam organisasi. Oleh karena itu, menurut Parson (1949)
kekuasaan dan otoritas tidak bisa berjalan seiring.
Dikarenakan kesalah pahaman kita tentang makna
kepemimpinan, maka sering sekali kita terjebak dengan kepercayaan bahwa
pemimpin itu memiliki kekuasaan (power) atas bawahannya, padahal seorang
pemimpin itu hanya memiliki otoritas (authority) untuk memimpin
bawahannya dan bekerja sama untuk kepentingan organisasi tanpa mengunakan
kekerasan. Nah kesalahan ini berakibat kepada kurangnya kontrol para bawahan
atau unsur organisasi lainnya terhadap kinerja pemimpinnya. Misalnya, para staf
ataupun dosen di dalam sebuah fakultas enggan mengontrol kinerja dekannya,
karena mereka mempunyai pemikiran bahwa seorang pemimpin itu memiliki kekuasaan
penuh atas mereka.TEORI KEPEMIMPINAN
Dikarenakan kesulitan di dalam
mendefinisikan hakikat kepemimpinan, para peneliti dan pemerhati dalam bidang
kepemimpinan ini menciptakan beberapa teori dan pendekatan untuk menemukan
makna dari hakikat kepemimpinan. Walaupun demikian, belum ada satupun teori dan
pendekatan yang mampu mendfinisikan hakikat kepemimpinan karena teori-teori
tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing (Bass, 1981). Oleh
karena itu, sampai sekarang belum ditemukan satupun makna kepemimpinan yang
bisa berlaku secara universal. Spotts (1974) juga mengatakan bahwa sampai
sekarang hakikat kepemimpinan belum berhasil ditarik walaupun sudah ada ratusan
kajian tentang makna kepemimpinan ini.
Dimasa awal-awal studi tentang hakikat kepemimpinan, para peneliti cendrung
menganggap trait theory (teori sifat) sebagai sebuah teori yang representatif
di dalam menerangkan makna kepemimpinan. Namun, sebahagian para ahli menolak
teori ini dengan alasan bahwa kepemimpinan bukan hanya karena memiliki
kelebihan sifat, misalnya kepandaian dalam berbicara, mempunyai status sosial
tinggi dan lain sebagainya. Peniliti yang lainnya berpendapat bahwa situational
theory (teori situasi) adalah teori yang sangat tepat. Namun kemudia, teori ini
juga terbantahkan karena seorang pemimpinan memerlukan hal lain seperti
kecocokan dalam style (gaya), dan juga sifat (trait). Fairholm (1991)
menjelaskan bahwa teori-teori kepemimpinan yang popular adalah trait theory
(meneliti tentang siapakah pemimpin itu sebenarnya. Teori yang kedua meneliti
pekerjaan pemimpin (teori behavioral dan style), dan situational theory (tempat
pimpinan menjalankan tugasnya.
- Traits theory (Teori sifat)
Ini
adalah teori yang tertua yang terdapat di dalam studi literatur kepemimpinan.
Beberapa peneliti menyebutnya juga sebagai the great man theory dan Psychological
theory (Fairholm, 1991). Di tahun 1900 san teori ini sangat ppuler karena
memang seorang pemimpin dianggap sebagai orang yang memunyai kelebihan dalm
segala hal. Northouse (1997) mentebutkan bahwa studi tentang traits ini
dilakukan untuk mengetahui faktor yang membuat seorang pemimpin itu berhasil,
dan faktor yang membuat seorang pemimpin itu gagal dalam memimpin. Teori ini
juga dikembangkan untuk mencari perbedaan antara pemimpin dengan anggota
masyarakat pada umumnya. Dari hasil pengembangan terhadap trait theory
ini ditemukan bahwa seorang pemimpin yang berhasil adalah orang yang memiliki
kemampuan luar biasa seperti kecakapan di dalam bekerja dan mempunyai wawasan
yang sangat luas (Yukl, 1994). Oleh karena itu, trait theory menyimpulkan bahwa
seorang pemimpin yang berhasil harus memiliki kemampuan yang jauh melebihi
kemampuan anggota organisasinya tersebut (Yukl, 1989). Menurut Bass (1981),
seorang pemimpin memang arus memiliki kemampuan berbicara yang baik dan
efektif. Oleh karena itu, Bass mengatakan bahwa para peneliti dalam bidang
kepemimpin banyak yang mendukung teori sifat ini (traits theory, seperti
Bernard (1926); Bingham (1927); Tead (1929); dan Kilbourne (1935).
Seperti
yang sudah disinggung sebelumnya bahwa teori sifat ini sangat popular pada
awal-awal abad ke 20 karena memang teori tersebut muncul pada saat yang tepat.
Pada saat itu, hanya orang-orang yang terbaik di dalam lingkungan masyarakat
akan diangkat sebagai pemimpin. Dalam hal ini Northouse (1997) menjelaskan
bahwa:
The
theory that was developed was called great mean theory because it focused on
identifying the innate qualities and characteristics possessed by great social,
political and military leaders (i.e. Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, and
Mahatma Gandhi). It was believed that people were born with these traits and
only the great people possessed them (hal.
13). Menurut Northouse teori sifat ini juga disebut dengan “teori orang hebat”
karena teori ini terfokus kepada kualitas pribadi seseorang yang dibawa sejak
ia lahir.
Bass (1981) berpendapat bahwa
pemimpin itu dianggap sebagai orang yang mempunyai kemampuan lebih dibandingkan
dengan anggota organisasi lainnya. Teori sifat ini menjawab pertanyaan yang
kontroversial tentang apakah seorang pemimpin yang hebat itu dilahirkan atau
dibentuk. Teori ini dengan tegas menekankan bahwa pemimpin itu dilahirkan
dengan membawa kualitas alami sejak lahir (Crainer, 1996). Bryman (1986)
menjelaskan bahwa teoi sifat ini melakukan studi tentang kepemimpinan dengan
mengunakan LTQ (Leadership traits questionnaires-angket tentang sifat
kepemimpinan). Dalam angket tersebut, peneliti menekankan kepada tiga hal:
pertama, penampilan fisik seperti tinggi, berat badan, dan penampilan fisik.
Yang kedua adalah kemampuan otak seperti pintar, mempunyai bakat bicara yang
lancer, dan beilmu pengetahuan. Ketiga adalah kepribadian seperti percaya diri,
kemampuan mengontrol emosi dan mempunyai kemampuan untuk mengerti orang lain.
Menurut teori sifat, pemimpin seperti Napoleon menjadi panglima dan pemimpin
besar karena ia memiliki sifat alami yang luar biasa sejak lahir.
Pada masanya, teori ini menjadi
objek penelitian para ahli bidang kepemimpinan. Stogdill menerbitkan
penelitiannya dalam sebuah buku yang sangat tebal di tahun 1948 dan 1974. Di
dalam laporan penelitiannya, stogdill menjawab pertanyaan tentang sifat atau
karakteristik apa saja yang dianggap mampu meninkatkan kinerja seorang pemimpin
(Yukl, 1989). Dalam periode tahun 1904 sampai tahun 1948, stogdill mempelajari
124 sifat dan karakter dan menemukan bahwa ada beberapa sifat yang membedakan
seorang pemimpin dengan yang bukan pemimpin. Sifat-sifat tersebut adalah
kemampuan intelektual, tanggung jawab, kemampuan beraktifitas dan bergaul
dengan berbagai kalangan dan perbedaan social ekononmi. (Bass, 1981 dan Yukl
1989). Kemudia dalam periode tahun 1949 sampai dengan 1978, stogdil mempelajari
164 sifat lainnya. Dalam proses mempelajari sifat tersebut, Stogdill mengunakan
berbagai macam alat seperti test situasi dan test projektif. Dia juga
meninterview para manajer dan tenaga administraasi tentang hakikat kepemimpinan
(bass, 1981 dan Yukl, 1989). Dalam laporan yang kedua, Stogdill temukan bahwa ada
beberapa sifat yang membuat para pemimpin itu efektif. Namun, teori sifat ini
(trait theory) tidak menjamin kesuksesan seorang pemimpin karena sifat tertentu
hanya bisa efektif dalam situasi tertentu pula dan tidak effektif dalam situasi
lainnya.
Walaupun teori sifat ini sempat
popular di awal abad ke 20, teori ini mempunyai banyak kelemahan yang sangat
sigjifikan. Salah satu kelemahannya adalah teori ini tidak memperhatikan
situasi yang bisa mempengaruhi kinerja para pemimpin (Bass, 1981 dan Bryman 1986).
Kelemahan lainnya adalah, teori sifat ini tidak menghubungkan antara
keberhasilan para pemimpin dengan sifat yang dimilikinya. Tidak ditemukan dalam
penelitian trait theory ini bahwa sifat tertentu akan mampu memberi hasil
tertentu pula. Dikarenakan kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh trait theory
maka, para peneliti dalam bidang kepemimpinan, mengembangkan teori lain untuk
mampu memahami makna kepemimpinan tersebut.
- Style theory (Teori gaya)
Style
theory atau teori gaya ini sangat berbeda dengan teori sifat yang sudah
dijelaskan sebelumnya. Teori sebelumnya memberi makna dari hakikat kepemimpinan
dengan melihat kepribadian seorang pemimpin, sedangkan teori gaya ini melihat
hakikat kepemimpinan melalui penampilan ataupun tingkah laku para pemimpin
tersebut (Northouse, 1997). Setidaknya ada tiga alasan teori style ini
dikembangkan. Alasan pertama adalah ketidak mampuan teori sifat meletakkan
makna hakikat kepemimpinan itu sendiri. Kelemahan dari teori sifat ini terlihat
dari hasil penelitian yang sudah diteliti terasa tidak konsisten. Kedua, alasan
teori ini muncul karena adanya keinginan untuk melihat apa yang dikerjakan oleh
pemimpin (what leaders do), bukan kepribadian pemimpin (who leaders are). Fokus
dari teori gaya ini adalah melihat dan memaknai kepemimpinan melalui melihat
tingkah laku mereka dan gaya mereka di dalam memipin. Alasan ketiga terhadap
pengembangan teori ini adalah adanya keinginan dari para ahli untuk meneliti
dampak dari gaya yang berbeda dalam sebuah organisasi (Bryman, 1986).
Setidaknya
ada tiga usaha (penelitian) besar yang pernah dilakukan dengan berbahasa
Inggris. Di akhir tahun 1940, Ohio State University (OSU) in Columbus-USA
melakukan penelitian terhadap teori gaya ini. OSU melakukan penelitian terhadap
aktivitas para pemimpin. Para peneliti tersebut yang berasal dari berbagai
disiplin ilmu seperti dari bidang pendidikan, industri dan militer melihat dan
mengevaluasi aktifitas para pemimpin (Bryman, 1986). Langkah pertama yang
ditempuh oleh para peneliti adalah mendesain sebuah angket yang disingkat
dengan LBDQ (Leader Behavior Description Questionnaires-Angket gambaran tentang
tingkah laku pemimpin). Angket tersebut disebar ke 300 tentara angkatan udara
untuk mendapatkan respon tentang tingkah laku para pemimpin mereka (Bryman,
1986). Melalui angket tersebut disimpulkan ada sekitar 2 faktor yang menentukan
tingkah laku para pemimpin, yaitu initiate structure-mementingkan
produktifitas organisasi dan consideration-lebih mementingkan
kesejahteraan bawahan.
Disamping
mendesain LBDQ, para peneliti di OSU juga mendesain SBDQ (Supervisory Behavior
Description Questionnaires-Angket gambaran tentang tingkah laku pengawas).
Kedua angket tersebut mempunyai perbedaan dalam ruang lingkupnya. LBDQ meneliti
dimensi yang lebih luas selain initate structure dan consideration,
sedangkan SBDQ mengkaji hanya initiate structure dan consideration.
Selain dari kedua instrument tersebut sebelumnya, para peneliti di OSU juga
mengembangkan angket yang disebut dengan LOQ (Leadership Opinion Questionnaires-Angket
tentang pendapat para pemimpin). LOQ disebarkan pada kalangan para pemimpin
untuk memperoleh respon tentang kepemimpinan yang efektif.
Universitas
besar lainnya yang juga melakukan penelitian tentang kelakuan pemimpin adalah
University of Michigan (UM). UM melakukan studi tentang motivasi dan perbuatan
(performance) dalam organisasi (Bass, 1981 dan Bryman, 1986). UM juga
melaksanakan penelitian tentang hubungan antara tindakan pemimpin dengan
keberhasilan sebuah organisasi (Northouse, 1997). Walaupun ada perbedaan dalam
beberapa hal antar UM dan OSU, kedua universitas tersebut memiliki tujuan yang
sama yaitu meneliti kelakuan pemimpin terhadap keberhasilan sebuah organisasi.
Perbedaan signifikan dari kedua studi tersebut ialah, peneliti OSU berasal dari
bidang ilmu dan karir yang berbeda-beda, peneliti di UM hanya terdiri dari ahli
psikologi. Perbedaan mencolok lainnya ialah, OSU melakukan penelitian dalam
bidang pendidikan, industri dan juga militer, sedangkan UM mengembangkan
penelitiannya dalam bidang industri saja seperti hubungan antara buruh dengan
supervisornya dan pekerja rel kereta api dengan para preman (Bass, 1981 dan
Bryman, 1986). Hasil dari penelitian ini bisa disimpulkan bahwa para pemimpin
yang medapatkan nilai tinggi dalam bidang employee oriented (menitik
beratkan kepada para pekerja), mendapatkan nilai yang rendah dalam hal
orientasi produksi, dan juga sebaliknya. Dari hasil penelitian ini, dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa kecil kemungkinan bagi para pemimpin untuk
menselarakan antara employee oriented atau consideration dengan production
oriented atau initiate structure.
Walaupun
demikian, Blake dan Mouton melakukan penelitian tentang tingkah laku pemimpin
pada tahun 1964, 1978 dan 1985. Penelitian tersebut mengantarkan mereka kepada
sebuah kesimpulan bahwa orientasi kepada produksi dan bawahan sangat diperlukan
untuk keberhasilan sebuah organisasi. Menurut mereka sebuah organisasi akan
pincang kalau pemimpinnya hanya memperhatikan produksi. Begitu juga sebaliknya,
organisasi tersebut akan berjalan pincang kalau pemimpinnya tidak memperhatikan
kepada nasib para bawahan. Bawahan dan para staff adalah jantung dari sebuah
organisasi, artinya ketimpangan di dalam memperlakukan para staf akan berakibat
fatal terhadap produktifitas organisasi. Namun, perlakuan yang berlebihan
terhadap bawahan yang bisa memanjakan mereka juga tidak akan memberikan dampak
yang positif terhadap organisasi. Untuk itu, sesuai dengan rekomendasi Blake
dan Mouton, para pemimpin harus mampu menyeimbangi diantara kedua faktor
tersebut walaupun berdasar hasil penelitian yang dilakukan di OSU dan UM hal
sperti itu akan sulit tercapai.
Teori
gaya ini (style theory) yang hanya menjelaskan komponen-komponen dari tingkah
laku pemimpin, memiliki beberapa kelebihan. Kelebihan pertama adalah teori ini
memberikan kesempatan kepada para pemimpin untuk menilai tingkah laku mereka
sendiri. Yang kedua, teori ini bisa dijadikan alat untuk menilai tingkah laku
para pemimpin. Namun, teori gaya ini memiliki kekurangan yang menyebabkan teori
ini tertolak. Style theory ini tidak mampu menjelaskan gaya kepemimpinan yang
permanen dan tidak menentukan hubungan antar gaya terterntu dengan keberhasilan
kepemimpinan seseorang (Northouse, 1997). Nah, kekurangan yang sangat mendasar
inilah, style theory dianggap belum mampu menjelaskan hakikat kepemimpinan.
- Situational theory (Teori situasi)
Teori
situasi ini menjelaskan keberhasilan sorang pemimpin itu dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi. Esensi dari teori situasi ini adalah mencari korelasi
antara pemimpin dan situasi serta kondisi dimana ia memimpin (Bogardus, 1931).
Teori ini menegaskan bahwa tidak semua pemimpin itu berhasil dan efektif dalam
semua situasi dan kondisi (Bogardus, 1931; Yukl, 1994). Oleh karena itu,
situasi sangat menentukan keberhasilan seorang pemimpin dan situasi jugalah
yang menentukan apa-apa saja yang diperlukan oleh seorang pemimpin untuk
keberhasilannya di dalam memimpin.
Berbeda
dengan teori sifat yang menganggap pemimpin yang baik itu dilahirkan, teori situasi
ini menegaskan bahwa pemimpin yang baik itu diciptakan. Menurut teori ini
seorang pemimpin yang hebat bisa dilatih dan dibentuk melalui
pelatihan-pelatihan; salah satunya dengan menciptakan sebuah situasi yang
mengharuskan seseorang itu mengunakan keahliannya, kemampuannya, dan ide-idenya
di dalam menghadapi situasi tersebut (Bogardus, 1931). Teori ini juga
menegaskan bahwa hakikat kejujuran, kebohngan, konsisten, dan tidak konsisten
itu berbeda dari satu situasi dengan situasi yang lainnya. Seorang pemimpin
mungkin bisa berkonsisten di dalam menghadapi situasi tertentu, dan karakternya
tersebut bisa saja berubah kita dia menghadapi situasi yang berbeda pula.
Disamping mengdiagnosa situasi, teori ini juga mengevaluasi hubungan bawahan
dan situasi dengan gaya kepemimpinan. Para pemimpin diharapkan untuk mampu
menyesuaikna gaya kepemimpinannya di dalam menghadapi bawahan dan situasi yang
berbeda pula. Beranjak dari pemikiran ini, teori situasi mendefiniskan
kepemimpinan sebagai kemampuan seorang pemimpin di dalam menyesuaikan
kemampuannya dengan situasi dan kondisi.
Disebabkan
teori sebelumnya, traits dan style belum mampu memberikan definisi kepemimpinan
dengan tegas, teori ini dianggap mampu memberi jawaban terhadap pertanyaan
kontroversi tentang makna kepemimpinan (Bass, 1981). Istilah lain dari teori
situasi ini (situational theory) adalah contingency approach-pendekatan
situasi, artinya keberhasilan seorang pemimpin dipengaruhi oleh situasi
tertentu (Yukl, 1989). Para ahli membenarkan hal ini karena seperti yang di
lansir oleh Spotts (1974) bahwa tidak ada satupun pemimpin yang berhasil dalam
segala bentuk situasi. Yukl (1989) juga sangat sependapat dengan spotts bahwa
semua pemimpin bisa berbuat maksimal di dalam segala situasi. Burke (1943)
memberikan contoh tentang isu ini. Burke menggambarkan bahwa dalam sebuah
peperangan, prajurit berpangkat tinggi memang sudah sepantasnya diangkat
sebagai pemimpin. Namun, dalam keadaan tenang dan dalam masa istirahat, maka
tentara yang bisa meluculah yang menjadi pemimpin. Ketika para pasukan ingin
mendarat ke pantai, maka tentara penjaga pantailah yang akan menjadi pemimpin.
Ilustrasi
sebelumnya memberikan pemahaman yang jelas dalam usaha memahami hakikat
kepemimpinan. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kedudukan/posisi
tertinggi dalam sebuah organisasi belum tentu selamanya akan berperan sebagai
pemimpin, kalau ada kemungkinan, yang memiliki kedudukan tinggi tersebut suatu
saat akan menjadi bawahan tergantung dengan sikon dan kondisi. Misalnya, di
dalam sebuah fakultas, dekan adalah seorang pemimpin yang tertinggi dalam
keadaan normal, namun dekan tersebut akan menjadi bawahan ketika berhubungan
dengan pelayanan terhadap mahasiswa internasional misalnya. Maka dalam keadaan
seperti itu, penasehat mahasiswa internasional akan lebih berweneng di dalam
memberikan pelayanan prima. Contoh lain, geng jalanan akan mengangkat teman
seorganisasinya yang kuat, tangguh dan banyak uang untuk menjadi pemimpin
mereka. Sedangkan dalam kegiatan kompanye, maka seseorang yang memiliki
kecakapan berbicara lebih cocok untuk menjadi pemimpin. Di dalam sebuah
organisasi orang yang pintar dan terpercaya akan dianggap sebagai pemimpin.
Melalui ilustrasi ini dapatlah kita pahami bahwa kepemimpinan itu
bukanlah bersifat statis seperti kepercayaan sebahagian masyarakat saat ini
tapi bersifat dinamis dan milik semua anggota dari sebuah organisasi.
Setidaknya
ada empat teori lainnya yang sudah dikembangkan dalam kerangka teori situasi: Path-goal
theory, situational leadership theory, leadership substitute theory, dan
yang terakhir normative model theory, semua teori tersebut memiliki
tugas dan fungsi masing-masing. Teori path goal berfungsi untuk menilai
bagaimana situasi/keadaan tertentu mempengaruhi gaya kepemimpinan dan bagaimana
gaya tersebut mampu memuaskan para bawahan. Teori situational leadership
yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard berperan dalam menjelaskan hubungan
antara kematangan bwahan dengan gaya kepemimpinan. Teori yang ketiga yaitu
teory leadership substitute mengidentifikasi aspek dari situasi tertentu
yang tidak terlalu membutuhkan kepada seorang pemimpin. Yang terakhir adalah
teori normative model, yang dikembangkan oleh Vroom dan Yetton
menjelaskan tentang pentingnya pengambilan keputusan yang tetap dan sesuai dengan
kondisi (Yukl, 1989).
Teori
situasi ini juga mengenal empat macam gaya kepemimpinan. S1 lebih mementingkan
perintah daripada bantuan, S2 mementingkan kedua-dua hal, perintah dan bantuan,
S3 lebih mementingkan pemberian bantuan daripada perintah, dan yang terakhir S4
tidak mementingkan kedua-duanya, perintah maupun bantuan. Dalam proses
kepemimpinan, pemimpin dibolehkan mengunakan gaya manapun dari yang keempat
tersebut dengan catatan penggunaannya sesuai dengan kualitas bawahan. Disamping
mengelompokkan gaya kepemimpinan, teori situasi ini juga mengelompokkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar